Path Facebook Instagram Twitter Google+

Perjalanan Menuju Dunia Baru

Tadi pagi aku baru bisa memejamkan mataku pukul dua lebih seperempat setelah rampung menamatkan bacaan bagus karya Nh. Dini yang berjudul Langit dan Bumi Sahabat Kami. Begitu tersadar aku tak tau jam berapa saat itu. Yang aku ingat adalah aku ikut barisan para laki-laki untuk naik ke sebuah kapal. Disana kami bahu membahu dalam segala hal; mulai dari membersihkan kapal, menangkap ikan untuk lauk saat makan, dan masih banyak lagi. Rombongan demi rombongan mulai turun di kota pelabuhan tujuan masing-masing hingga di dalam kapal hanya tinggal segelintir orang saja yang tersisa. Aku tak tau akan turun di mana, tapi aku yakin sekali bahwa tujuanku adalah kota terakhir tempat berlabuh dari kapal yang sedang kami tumpangi ini. Hari berganti dengan begitu cepatnya namun tujuanku belum juga kunjung terlihat. Sore ini bintang-bintang memperlihatkan keindahannya walau bulan hanya tinggal setengahnya saja tak ada awan yang menutupi dan laut begitu tenang. Aku menyimpan surat-surat yang aku sendiri tak tau siapa pengirimnya. Aku membaca lagi salah satu dari surat itu malam ini. Surat yang isinya merupakan potongan-potongan kecil kata yang di gunting rapi lalu dirangkai menjadi beberapa kalimat indah yang selalu membuatku rindu.

"Kau mau kemana bocah?" seorang pria paruh baya berjenggot putih tebal dan berbadan kekar yang biasa aku panggil Pak Jenggot ini begitu tertarik denganku akhir-akhir ini setelah kehilangan banyak teman ngobrol yang sudah turun dari kapal tiba-tiba mengagetkanku.
"Tidak tau Pak, aku mau turun di pemberhentian terakhir."
"Apa kau mau mati hah?" dia memicingkan matanya, "sebaiknya kau segera turun, lima hari lagi mungkin kita sudah sampai di pelabuhan berikutnya."  dia berkata dengan tegas kepadaku lalu pergi begitu saja.

Aku tak tau mengapa dia begitu marah, ada apa di pemberhentian terakhir? Semakin memikirkannya semakin bulat tekadku ingin pergi kesana. Penghuni kapal tinggal selusin orang saja, aku menghabiskan waktu yang tersisa untuk berbincang dengan teman baikku selama di kapal ini. Rencananya dia akan meninggalkan kapal ini di kota pelabuhan yang akan segera kami singgahi empat hari lagi dan dia rasa Pak Jenggot juga akan turun disana. Berkali-kali dia juga berusaha membujukku untuk ikut turun bersamanya tapi aku tetap saja kukuh dengan tujuanku turun di kota labuhan terakhir. Empat hari sudah berlalu, tinggal beberapa jam lagi lima orang akan segera meninggalkan kami termasuk teman baikku Joni dan juga Pak Jenggot.

 

Tujuh orang termasuk aku, beserta seorang Kapten kapal masih berlayar menuju dunia baru. Pulau-pulau mulai terlihat di siang hari dan digantikan dengan cahaya lampu mercusuar di malam hari. Tinggal beberapa hari lagi aku akan sampai di tempat tujuanku. Kapten menyuruh kami untuk segera berkemas dan membersihkan sisa sampah yang masih berserakan sebelum kami benar-benar meninggalkan kapal yang  sudah hampir membawaku selama kurang lebih 4 bulan ini.
Pagi ini aku terbangun karena dikejutkan dengan peringatan dari teman-teman untuk mengamankan diri dan segera mengambil apa saja untuk dijadikan senjata. Ada apa ini? Aku tak ingin jadi satu-satunya yang tak bersenjata dan segera bergegas mencari apa saja sebagai perlindungan untuk diri sendiri. Sambil berlari di belakang Bang Rosi aku yang melihat dayung di belakang pintu segera menyambarnya dan kembali mengikutinya menuju buritan.

"Cepat anak muda!" usai mendorongku ke sebuah ruangan bersama teman-teman yang lain, Kapten bersama Bang Rosi kembali meninggalkan kami.

Ternyata semua orang sudah berkumpul, akulah orang yang terakhir bergabung dalam ruangan itu. Aku mendengar suara orang bersitegang tapi mereka berbicara dengan bahasa apa entahlah aku tak tau. Suara langkah kaki yang semakin mendekat membuat jantungku juga semakin berdegup kencang. Tiba-tiba senapan membombardir tempat kami berlindung.

"Tiaraaaap!!!"

Kami semua yang hanya bersenjata benda tumpul yang keras tak berkutik dan hanya bisa menunduk kaku menunggu mereka masuk dan menghabisi nyawa kami satu persatu. Benar-benar mengerikan, apa yang dibilang Pak Jenggot ternyata bukan main-main. Dunia baru yang aku impikan ternyata begitu ganas. Apakah nyawaku akan berakhir begitu saja di sini? Tanpa pernah menginjakkan kaki di dunia baru? Braak! Pintu terbuka dan aku melihat seseorang bersenjata siap meletus sedang mengarahkan ujung senjatannya pada kami yang meringkuk di lantai bagai tikus.

"Agung Satrio!"
Deg... Jantungku serasa berhenti berdetak.
"Siapa diantara kalian yang bernama Agung Satrio!"

Aku tak berani melihat orang itu, tapi pandangan teman-teman yang mengarah padaku membuat orang itu mendekat padaku lalu bertanya, "Kau yang bernama Agung Satrio?"

Sambil berdiri karena dia menarik lengan kiriku, aku yang ketakutan setengah mati hanya bisa menganggukkan kepala.

"Bagus! Ayo ikut aku."

Dia berjalan begitu cepat dan menghilang tanpa mempedulikanku, aku rasa dia pasti begitu yakin bahwa aku pasti akan mengikutinya. Sempat terlintas dibenakku secepatnya lari ke bagian belakang kapal lalu terjun ke lautan, tapi aku tak mau membahayakan nyawa teman-teman awak kapal yang sudah seperti keluargaku sendiri. Sebelum aku meninggalkan ruangan yang bau amis ini mereka mendoakan agar aku baik-baik saja, aku mengamini dalam hati. Aku yang tengah risau hanya bisa tersenyum meniggalkan mereka.

 

Aku sempat melihat Bang Rosi bersama dengan Kapten masih berada di ruang besar dengan penjagaan tentara-tentara asing ini. Begitu turun dari kapal aku langsung dibawa oleh mereka menggunakan mobil dengan mengikat kedua tanganku terlebih dahulu ke sebuah gedung bagus di pusat kota. Syukurlah, aku masih bisa sedikit bernafas lega karena mereka tidak atau lebih tepatnya belum mau membunuhku. Aku ditempatkan di sebuah ruangan kecil sendirian tanpa diberi makan hingga aku lelah sendiri dan terkantuk. Duuuar!!! Semua rasa kantukku lenyap begitu saja setelah mendengar ledakan hebat barusan. Apa gerangan yang terjadi? Lorong di depan ruang kecil tempat aku ditahan tiba-tiba begitu ramai. Aku ketakutan dan lari menuju pintu. Aku putar gagang pintu, oh, ternyata pintu terbuka begitu saja. Aku pun mengikuti orang yang berlalu lalang yang berlari menuju pintu keluar.

Begitu terkejutnya aku ketika melihat ke angkasa melalui jendela. Superman! Dalam ukuran raksasa!!! Suara yang benar-benar bising terdengar dari sisi lain lalu tiba-tiba muncul monster raksasa. Ya Allah, ada di mana aku ini??? Aku mencubiti pipiku keras-keras. Kalau menurut kepercayaan orang, mencubit pipi lalu terasa sakit maka itu bukan mimpi. Kalau begitu seperti ini kah dunia baru yang sesungguhnya? Aku benar-benar bingung tapi tetap berlari bersama orang-orang untuk segera keluar dari gedung ini. Ternyata pintu keluar yang kami tuju adalah pintu belakang. Entah masih bertarung atau sudah selesaikah Superman yang berukuran raksasa itu dengan monster yang baru saja keluar dari perut bumi tadi. Aku masih berlari hingga sampai di jalan besar. Orang-orang sudah menghilang menyelamatkan dirinya masing-masing. Masih terengah-engah aku melihat ada barisan pasukan pengibar bendera sedang berjalan beriringan menurut posisinya menuju ke arahku. Dalam keadaan seperti ini masih berlatih paskib? Ah, sudahlah. Aku menyelinap menjadi satu dalam barisan mereka. Sungguh tak bisa dipercaya, aku masih bertanya-tanya dalam hati sebenarnya ada dimana aku ini? Sambil mengamati wajah orang-orang disekelilingku saat ini, rupa-rupanya aku menemukan seseorang yang kukenal dibarisan yang ada tak jauh di belakangku. Begitu senangnya bisa bertemu kembali dengannya, Arifah.

Aku memperlambat langkahku agar aku bisa berjalan sejajar dengannya, tapi begitu kami sejajar, dia langsung memberiku bendera beserta tiangnya padaku untuk diletakkan di pundak seperti yang lain. Aku menerimanya walau tak mengerti apa maksudnya. Di samping barisan kami ada seorang juru foto yang dari tadi membidikkan kameranya pada kami yang tengah berjalan dalam barisan yang rapi. Selagi kameranya tak menutupi wajahnya lagi-lagi aku terkejut. Aku juga mengenal orang itu. Dia kakak kelasku waktu SD dan juga SMP, bahkan dia juga kakak dari temanku. Apa dunia baru adalah kampung halamanku? Latihan baris-berbaris telah usai. Ketika aku mau menemui Arifah, dia hanya tersenyum lalu memberiku sebuah buku yang bagus sekali sampulnya. Lalu dia menghilang dari pandanganku. Aku yang yakin bahwa dunia yang baru beberapa saat aku pijak ini adalah kampung halamanku kembali berjalan melangkahkan kaki kemana saja mengikuti kata hati. Tidak beberapa lama aku mendengar suara anak-anak yang sedang bermain, suara ini terdengar begitu akrab di telingaku. Ketika aku mengikuti asal suara itu ternyata aku sudah tiba dirumah. Itu adalah suara Nanda dan Ninda yang sedang bermain. Senangnya hatiku, akhirnya aku selamat sampai tujuan :)
Aku terbangun dari mimpi indahku ketika waktu subuh hampir tiba.

 

Surabaya, 9 Januari 2011

Posted via email from Nyol's Posterous

2 obrolan:

Unknown mengatakan...

ada nama saya :D

fullowaferstik mengatakan...

Yakin itu namamu? :P
Bagus gak gaya bahasaku?

Posting Komentar

Habis baca jangan lupa tinggalin jejak ya :D