Path Facebook Instagram Twitter Google+

Berkelana di Dalam Gerbong (Gaya Baru Malam Selatan 1)

 

Sayup-sayup terdengar suara peluit kereta yang semakin keras. Itulah keretaku. Ular besi yang akan membawaku pulang ke rumah. Lima hari sudah aku berada di kota yang sejuk ini, kini saatnya untuk pulang. Paman menyuruhku supaya segera naik ke dalam kereta. Ini adalah perjalanan panjang pertamaku seorang diri. Hanya ditemani sebuah tas cewek pemberian sepupuku Tiyas karena aku sama sekali tak membawa perlengkapan saat akan menginap di rumah pamanku, bahkan KTP pun aku juga tak membawanya karena dompet sengaja aku tinggal. Sebelum berangkat pamanku yang anggota angkatan udara bertemu beberapa rekan sesama angkatan di stasiun kecil Pegaden Baru ini dan menitipkan aku pada salah satu anak buahnya. Orang yang diberi amanat oleh pamanku ini pastinya adalah orang yang cekatan. Menurut penglihatanku sih dia hanya beberapa tahun lebih tua dariku. Sebelum naik kereta aku sempat ngobrol sebentar dengannya, dia nantinya akan turun di Madiun.

 

Kereta sudah berhenti. Aku segera berpamitan kepada dua sepupuku yang ikut serta mengantarku ke stasiun. Aku berlarian di belakang para beberapa angkatan udara ini mencari gerbong yang loggar. Kami sudah sampai di ekor kereta namun sayang tak ada satu pun gerbong yang longgar, bahkan ada beberapa gerbong yang sengaja dikunci dari dalam oleh beberapa orang yang tak mau gerbong mereka makin penuh sesak. Peluit kereta mulai berbunyi lagi.

"Gung!! Cepat naik sini!" pamanku terlihat geram melihat kebodohanku berlarian mencari gerbong kosong yang mustahil adanya.

Dengan tergesa dan panik aku segera menuju pintu gerbong yang ada di dekat pamanku itu. Akui sampai lupa mengucapkan salam perpisahan pada pamanku ini karena takut tertinggal kereta. Peluh menetes dari dahiku, aku masih mencari tempat yang enak dan nyaman walau harus berdiri. Kriiieg... Kereta mulai bergoyang.

Tuuuuuuuttt!!! Tuuuuuuuuuuuuuuuuuttt!!!

Perlahan kereta mulai melaju. Inilah saat-saat yang paling aku benci. Entah mengapa ketika aku menjadi pengantar maupun ketika aku menjadi yang diantar, ingin sekali aku melewatkan saat dimana aku harus melihat orang-orang yang aku sayang menjauh dari pandangan. Aku masih bisa melihat pamanku dan dua orang putrinya sedang mencari keberadaanku dari jendela. Aku ingin sekali berteriak aku ada di dalam sini! Aku sudah naik, jangan khawatir! Kereta mulai mempercepat lajunya. Keluarga kecil pamanku ini mulai menjauh dari pandanganku, semakin jauh dan semakin kabur, hingga akhirnya tak terlihat lagi.

 

Pemandangan stasiun sudah terganti dengan pemandangan persawahan yang kian hari kian menguning menunggu panen raya tiba. Aku masih berdiri lesu tak mendapat tempat duduk. Beginilah gambaran nyata sistem transportasi di negara ini, kelas Ekonomi khas PT. KAI. Aku berpapasan dengan orang yang diberi amanat oleh pamanku. Dia tak memandangku sama sekali ketika aku tersenyum saat dia lewat dihadapanku. Cih, sikap orang ini berbalik seratus delapan puluh derajat. Kini aku tau, tadi dihadapan pamanku dia hanya berbasa-basi. Seperti inikah hidup? Oh... ternyata aku hanyalah anak kota yang polos, tak pernah merasakan kejamnya dunia ini. Minta ini tinggal bilang. Minta itu besok sudah dapat. Tak berapa lama aku disapa oleh salah seorang anggota angkatan udara lain yang tadi juga menunggu di stasiun. Dia mengajakku ikut bersama rombongannya menuju gerbong depan. Daripada sendirian disini labih baik aku bergabung bersama gerombolan mereka. Mereka hanya bertiga ditambah diriku jadi berempat. Kami bersinggungan badan dengan banyak penjual yang berlalu lalang. Tak kenal lelah para pedagang ini bagaikan para petani yang sedang panen karena mengingat saat ini masih terhitung hari padat yang sayang sekali kalau dilewatkan setelah libur lebaran. Terkadang kami harus berhenti karena jalanan begitu sesak dengan manusia yang sedang duduk dengan acuhnya di jalanan juga pedagang yang berbondong-bondong dengan barang dagangan yang bukan main banyaknya. Sesekali ada beberapa orang iseng yang bertanya pada tiga abdi negara di depanku ini, mau kemana? Tentara ya? Dan lain sebagainya. Kalau para pedagang sih kalimat yang mereka ucapkan relatif sama, Penuh mas balik aja.

 

Dua gerbong sudah terlewati. Aku tak melihat satu pun tanda-tanda adanya tempat yang nyaman bisa aku buat bersantai sejenak. Kini kami ada di gerbong makanan. Ada dua gadis berkerudung di kursi paling ujung, mereka ditemani bapak-bapak kondektur di sudut yang lain juga beberapa orang yang berdiri di ujung pintu sambungan gerbong belakang dan depan. Jika aku perempuan sih daripada jalan terus mending duduk disini walau digodain sama om om genit petugas KAI.

Bersambung...

 

Fiuuuh... aku pikir sekali hentakan keyboard kisah perjalanan semalamku berkereta api dari Subang sampai ke Surabaya bersama Gaya Baru Malam Selatan bisa langsung selesai. Makin banyak PR cerita bersambung nih jadinya. Oh iya nih, sekedar berbagi info buat yang mau bepergian naik kereta jangan lupa baca dulu tulisanku yang ini.
Nantikan kelanjutannya ya sobat ;) Don't miss it!

Posted via email from Nyol's Posterous

4 obrolan:

ravibooks.blogspot.com mengatakan...

Seperti novel yang agak klise...rajin2 berlatih menulis dan banyak membaca biar tulisannya lebih menarik dan berisi ya...

fullowaferstik mengatakan...

Wah.. terima kasih banyak kritik dan sarannya :D
Baiklah, aku mau coba lebih baik lagi di cerita selanjutnya ;)

Unknown mengatakan...

wah, kalo dibukukan, sepertinya cerita ini menjadi novel... hehe

lanjutkan menulisnya... *sapa tau bisa jadi seperti Andrea Hirata*

fullowaferstik mengatakan...

hihihi... jadi seperti Andrea Hirata? Ady becanda banget sih!
Masa tulisan model gini mau dijadiin novel.. Baiklah akan aku lanjutkan tapi bukan hari ini :P

Posting Komentar

Habis baca jangan lupa tinggalin jejak ya :D