Sebuah pukulan telak meremukkan perasaanku. Kejadiannya baru
beberapa menit yang lalu. Aku tanpa sengaja mengorek sebuah kisah pilu dari
seorang lelaki tua di dalam lyn. Dia berkulit terang, berwajah keriput kempong,
dengan rambut dan kumis perak beruban. Di balik keadaan fisiknya itu masih bersemayam
semangat juang dan bahan bakar kehidupan yang seolah tak ingin padam.
Baca Selengkapnya -
Melengkapi Alenia Kehidupan
***
Aku baru selesai mengisi sejenis biodata atau entah apalah
itu namanya. Dari sebuah perusahaan makanan siap saji yang baru mengembangkan
sayap, Richeese Factory. Bagaimana aku bisa memberikan informasi tentang
biodataku pada mereka secara sukarela? Jawabannya karena aku sedang meminang
pekerjaan di sana. Sungguh banyak data yang perlu diisikan dalam formulir
penerimaan pegawai tersebut. Aku pun baru tahu kalau seperti inilah sistem yang
harus dilalui untuk bisa menerobos masuk ke dalam jajaran karyawan perusahaan
kelas kakap. Setelah sehari sebelumnya aku juga sempat bernegosiasi tentang kontrak
kerja dengan perusahaan kecil-kecilan milik perorangan.
Siang itu beberapa ruas jalan di Surabaya macet. Meski
semenjak pagi diguyur hujan. Aksi demonstran menuntut penolakan harga BBM tetap
berjalan. Lyn yang aku tumpangi pun harus bersusah payah mencari jalan alternative
lainnya. Saat tiba di kios pemilik game center yang akan aku lamar, ada seorang
pelamar lain yang tengah berhadapan 1 on 1 dengan si empunya perusahaan. Masih di
ruang yang sama, aku duduk manis di kursi tunggu sambil menyimak percakapan
kontrak kerja mereka. Di bagian akhir aku mendengar bahwa dia langsung mendapat
kesempatan itu dan kinerjanya sudah bisa di mulai besok. Dan satu lagi perkataan
yang tidak sengaja terperosok masuk ke lubang telingaku. ‘Jangan lupa bawa
ijazahmu!’
Kembali ke Richeese. Begitu usai mengembalikan berkas ke
pegawai yang ada di sana. Aku melenggang pergi. Dengan menyisakan harapan
semoga kali ini berjalan mulus, lanjut tahap wawancara dll. Sampai aku berhasil
mendapatkan pekerjaan. Tapi sebelum pulang aku masih menyempatkan diri memutari
area Royal Plaza yang terbilang besar ini. Memilah milih jajaran baju yang
ditata rapi di stand sampai tak terasa waktu operasional mal telah mencapai
batas. Kembali aku terduduk di atas bantalan kursi lyn yang akan mengantarku
sampai gang depan rumah. Melaju di jalanan malam yang tidak semacet siang. Kendaraan
masal ini masuk ke terminal Joyoboyo. Begitu keluar dari sana maka secuil puzzle
di alenia pembukaan tadi mulai tersusun.
‘Kulo mandap pengadilan ngih mas, uangnya tinggal dua ribu…
gakpapa?’
Suara bernuansa cemas itu berasal dari seseorang yang baru
naik . Ya, seorang kakek yang berpakaian layaknya orang bepergian. Hanya dikurangi
tas ransel atau koper besar saja. Setelah uang miliknya diterima oleh sang
sopir, kakek bertopi hitam itu pun bernafas lega. Dia duduk lalu menggeser
tubuhnya hingga merapat ke pojok. Rasa ingin tahuku mulai meradang. Aku mulai
menyapa kakek tersebut dengan pertanyaan basa basi.
‘Bade teng pundi, pak?’
Obrolan pun mengalir dengan sendirinya. Dia memang tengah
bepergian. Dari Nganjuk tepatnya. Datang ke Surabaya hendak menjenguk anak
perempuannya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga ikut majikan beretnis
Cina. Sudah pernah dua kali ke sini. Dan malam ini adalah kali ketiganya. Dasar
utama kedatangannya kali ini ternyata bukan hanya menjenguk anaknya tersebut. Melainkan
juga meminta uang untuk menebus ijazah si cucu, putrid sulung dari anak
perempuannya.
‘Ijazahnya masih disita sama sekolah. Karena masih menunggak
uang SPP 6 bulan dan uang LKS,’ jelasnya.
Keberangkatan kakek berkumis perak ini berbekal uang hasil
menggadaikan sepeda milik cucunya. Itupun atas inisiatif si cucu juga supaya
kakek bisa berangkat menemui ibunya dan meminta uang demi menebus ijazah kelulusannya
dari MTs. Pengorbanan. Belum lagi sampai di tempat tujuan, tadi saat kakek naik
bus uang kembalian ongkos belum sempat dibayar karena alasan kondektur yang
bertele-tele dan oper penumpang bus yang kerap terjadi. Akhirnya ketika turun di
terminal Bungurasih, kakek rela berlelah jalan kaki sampai terminal Joyoboyo
untuk menghemat ongkos perjalanan pulang nanti.
‘Tadi jalan dari Bungur ke sini jam setengah lima.’
Sekali lagi aku dipertemukan oleh garis takdir dengan
orang-orang yang memeras keringat dan berkorban demi kehidupan. Kisah keluarga
kakek ini semakin memilukan ketika obrolan kami semakin mendalam. Bila tadi si
kakek yang terlihat cemas saat mengatakan maksudnya pada sopir lyn. Kali ini
aku yang tampak berkali-kali cemas mendengar ceritanya.
Latar belakang kakek adalah seorang buruh sapu di pasar
kampung. Dengan gaji 12.500 rupiah per hari. Istri kakek berjualan makanan di
pasar. Tetapi semenjak sakit pekerjaan yang cukup menambah pemasukan itu juga
harus berhenti. Sementara itu, gaji yang diterima oleh anak kakek hanya 500.000
per bulan. Belum lagi persoalan majikannya yang sekarang ini. Sifat dan
perilakunya sangat tidak ramah. Pernah kakek menelepon untuk menanyakan kabar,
tetapi malah mendapat amarah si majikan. Saat kakek datang berkunjung pun hanya
diberi ruang dapur sebagai tempat istirahat.
‘Dulu ikut tetangga dari Nganjuk. Sekarang orangnya sudah
meninggal jadi ikut menantunya.’
Entah bagaimana caranya keluarga kakek bisa bertahan
menjalani hidup selama ini. Aku tak sanggup membayangkannya. Aku sangat-sangat
ingin membantu tapi tak ada yang bisa aku beri. Tadi sebelum ke Richeese aku
sempat membelanjakan uangku di Festival Buku murah Gramedia. Pengeluaran tak terduga
semacam ini sering terjadi ketika aku khilaf dan tidak bisa meredam nafsu
belanja barang-barang obral. Hingga aku turun dari lyn aku hanya mampu
menyelipkan seutas senyum dan doa supaya kakek dan keluarga selalu dilancarkan
rezekinya walau banyak rintangan yang meski ditempuh. Karena pada dasarnya
pengorbanan akan berbanding lurus dengan kebahagiaan J.