Path Facebook Instagram Twitter Google+

Kamar VIP (Gaya Baru Malam Selatan 2)

Satu stasiun baru saja terlewati namun aku masih terus melangkah demi menemukan tempat untuk duduk maupun sekedar berdiri melepas lelah. Pelukis semesta sudah menuangkan cat warna merah menyala. Matahari mulai bergulir ke barat menyinari belahan dunia lainnya. Beberapa belas menit lagi waktu maghrib akan segera tiba. Lagi-lagi rombonganku tersendat karena banyaknya penjajah makanan dan minuman yang berlalu lalang juga para penumpang lain yang duduk sekenanya di sepanjang jalan di tengah gerbong.

"Sek, macet." abdi negara yang mengajakku ikut rombongannya tadi menoleh dan berkata padaku yang ada di belakangnya.
"Iyo mas." aku menjawabnya sambil tersenyum.

Mereka adalah putra bangsa yang berasal dari kota Yogyakarta dan sekitarnya. Tanpa bertanya pun aku sudah bisa menebak ketika mendengar intonasi rangkaian suara yang mereka ucapkan, apalagi tadi ada orang yang bertanya pada mereka mau turun dimana, lalu pria paling depan menjawab: Jogja. Sebenarnya aku agak takut juga saat salah satu dari mereka menyuruh yang lain untuk terus melangkah hingga ke lokomotif masinis. Yang kutakutkan adalah bila terjadi kecelakaan, naudzubillah. Bukan maksudku berkeinginan atau berfirasat tidak baik agar terjadi kecelakaan, bukan. Sudah berkali-kali aku mendengar berita tentang kecelakaan kereta yang menyebabkan hilangnya puluhan nyawa. Dan biasanya yang terkena dampak paling parah adalah gerbong depan atau belakang.

 

Lampu di gerbong kereta mulai menyala. Begitu juga lampu-lampu jalanan, rumah-rumah penduduk juga lampu kendaraan yang tertangkap walau hanya sekelebatan saja oleh mata ketika aku menatap jendela. Aku bersandar pada sambungan gerbong ditemani beberapa orang yang juga sedang bersandar. Entah ada di batas gerbong ke berapa aku sekarang. Dua abdi negara rombonganku tadi telah menemukan tempat mereka sendiri di gerbong belakangku, sedangkan aku dan sang kapten yang memimpin kami tadi berada di antara sambungan gerbong mereka dengan gerbong depan. Berada tepat di sambungan ternyata lebih tidak mengenakan. Sempit dan banyak yang pedagang berlalu lalang. Kadang kaki terinjak kadang perut tertohok barang yang mereka bawa, dan ah.. banyak deh. Aku masih mengincar tempat yang nyaman untuk bisa duduk walau harus menekuk anggota tubuh yang lain. Dan tempat itu telah aku temukan, hanya tiga langkah di bawah tempatku berdiri, di dekat pintu masuk gerbong bukan di sambungan! Aku melihat potensi tempat itu cocok sekali untuk duduk, tapi sayangnya orang yang duduk di depan tempat itu menelunjurkan kakinya yang bersepatu kets putih. Setelah mengamati lebih jelas seperti apa wajah dari orang itu yang ternyata juga seorang bocah kira-kira hanya dua tiga tahun diatasku, aku memberanikan diri untuk meminta orang itu menekuk kakinya.

"Lah, ngono lak enak." kata sang kapten yang masih berdiri di sekitar tempat itu juga.

Setelah mengaitkan tas bawaanku di atas, aku pun akhirnya bisa duduk manis di depan orang yang tadi berselunjur kaki. Di sebelah kiriku ada sang kapten masih berdiri, dua orang pria yang mulutnya tak berhenti mengeluarkan asap rokok duduk di sebelah kaki kapten juga seorang mbah yang duduk tepat di depan pintu gerbong bagian kiri sedangkan di sebelah kananku ada rombongan keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, dan seorang anak gadisnya duduk di atas kardus-kardus, beberapa tas dan koper besar dekat sekali dengan pintu gerbong bagian kanan yang salah satu jendelanya bolong tak berkaca. Aku mencuri-curi pandang melihat wajah gadis itu walau bapaknya tepat disampingku :P. Stasiun Cirebon baru saja terlewati setelah beberapa penumpang baru ikut memeriahkan suasana pesta dalam gerbong kereta ekonomi ini. Aku baru saja membalas SMS dari Tiyas yang menanyakan keadaanku. Padahal baru berpisah berapa menit kok rasanya cemas sekali kalimat pertanyaannya.

 

Dua bocah belasan yang baru saja melintas di sampingku berhasil mendapat tempat duduk di lantai gerbong di samping dinding toilet. Semula aku tak menyadari mengapa pintu toilet selalu tertutup. Begitu ada seorang wanita gemuk yang ingin buang air memaksa masuk ke dalam toilet aku baru tau kalau toilet kereta ekonomi bisa di alih fungsikan menjadi kamar VIP! Mengagumkan, sungguh citarasa PT. KAI, tiada duanya di dunia perkereta apian di negara-negara lain.

Bersambung...

 

Melihat berita kecelakaan kereta api di Banjar - Jawa Barat membuatku ingin melanjutkan lagi kisah perjalanan semalamku berkereta dari Subang ke Surabaya. Kereta Mutiara Selatan yang menjadi berita utama beberapa hari ini karena telah menabrak kereta Kutojaya juga pernah aku tumpangi ketika aku main ke rumah pamanku Suroso untuk pertama kalinya ketika aku masih SMP kelas 2 di temani pamanku Abidin dan saudara sepupuku Diar. Semoga korban meninggal diterima disisiNya dan korban lainnya diberi ketabahan, Amin.

Posted via email from Nyol's Posterous

0 obrolan:

Posting Komentar

Habis baca jangan lupa tinggalin jejak ya :D