Path Facebook Instagram Twitter Google+

Jember Aku Datang!

Berapa lama kamu pernah meninggalkan rumah dan keluargamu, berkelana maupun menetap di belahan bumi yang lain seorang diri? Jujur paling lama aku meninggalkan rumah beserta keluarga hanya seminggu, itupun masih tinggal bersama keluarga jauh dalam suatu waktu untuk menghabiskan sisa hari libur. Sungguh waktu yang teramat singkat bagi seorang petualang tapi aku bukanlah petualang, aku hanyalah seorang anak bungsu yang agak manja dan belum pernah jauh dari keluarga. Di dunia ini ada banyak orang yang dengan susah payah meregang impian di tanah orang. Aku suka mendengar pengalaman serta cerita orang tentang pengalaman hidupnya dan aku juga suka membaca kisah-kisah petualang bocah negeri ini dlam meraih impian dan cita-citanya.

Aku ingin seperti mereka, merasakan sendiri pengalaman hidup terpisah dari keluarga. Aku ingin memiliki rasa cinta dan rindu yang tertanam dalam hati. Aku ingin memiliki kampung halaman dan menjadi kaum urban. Aku ingin melakukan sesuatu yang berguna bagi orang lain. Aku ingin menjadi seperti Ayahku bahkan lebih. Mengapa harus menjadi seperti Ayahku? Konon Ayahku meninggalkan kampung halamannya di desa kecil Tlanak, kecamatan Kedungpring, Babat - Lamongan sejak beliau lulus SMP. Kota tujuannya adalah kota kelahiranku, Surabaya. Bersama teman sekampungnya beliau meneruskan sekolah dan menetap di rumah salah seorang kerabat. Lama menetap membuatnya terpincut dengan gadis Surabaya, Ibuku, lalu menikah dan terus menetap sampai saat ini. Yang ingin aku tiru adalah semangat beliau berjuang meraih pendidikan di tanah orang. Kalau bisa nantinya jika aku memiliki istri, aku ingin yang berasal dari tanah kelahiranku juga.

Jika melihat usiaku yang hampir menginjak 20 tahun dalam tiga bulan ke depan seharusnya aku sudah bisa hidup mandiri atau paling tidak sudah bisa lepas dari pemberian orang tua. Tapi aku belum bisa melakukan hal yang sudah sepatutnya itu. Selama masih tinggal bersama keluarga bisa dibilang aku cukup manja. Rasa sayang Ibu kepadaku melebihi rasa sayangnya terhadap kedua kakak perempuanku. Di luar rumah ibu jarang berbicara tentang kelebihanku malah terlampau sering berbicara tentang keburukanku. Tapi di dalam rumah aku selalu jadi anak tersayangnya. Itulah ibuku dan begitu pula diriku si bungsu yang manja.

Jember. Sungguh tak pernah terlintas bahwa aku akan melanjutkan pendidikan perguruan tinggiku di kota kecil itu. Setelah dua kali sudah aku ditolak mentah-mentah dari ujian masuk PTN, pada kesempatan ketiga inilah aku baru bisa menembus gerbang impian para pemuda pemudi seluruh Indonesia agar bisa duduk di bangku perkuliahan. Aku sudah sempat duduk di bangku kuliah yang lebih condong ke kursus selama dua tahun ini namun aku masih belum puas. Dari situlah aku kembali merajut mimpi akan kembali berkesempatan menjadi mahasiswa yang sesungguhnya. Surabaya, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan cukup jauh dari impianku. Dua kali pertaruhan nasib tetap memilih Surabaya sebagai tempat melanjutkan pendidikan telah membukakan mataku bahwa perjuanganku bukanlah di sana. Inilah saat dimana aku harus menentukan roda kehidupanku sendiri. Menjadi anak rantau.

Selain Ayahku sendiri, masih ada beberapa orang lagi yang menginspirasiku dan semakin mengukuhkan niatku meraih segala impian walau harus berpisah jauh dari orang-orang tersayangnya. Sahabatku SMA Rino Isman yang telah membukakan cakrawala baru tentang kisah dunia anak kuliah di rantau orang membuatku ingin merasakan juga pahit manis kehidupan macam itu. Kisah tertulis dari beberapa orang hebat seperti Habiburrahman El-Shirazy, Andrea Hirata, Nh. Dini, Ahmad Fuadi, Windhy Puspitadewi, Iwan Setyawan yang walau terkadang kisah dalam buku mereka dibumbui sedikit fiksi tetapi semangat dalam tulisannya melecut bagai cambuk yang tidak kasat mata pada diriku.

Aku kembali mengingat-ingat tentang impian masa kecilku. Kebiasaanku yang suka membaca sedari kecil membuatku pernah bercita-cita menjadi seorang penulis buku. Selain itu aku juga mengingat kembali pada mata pelajaran apa saja aku bisa menguasainya, menyukainya dan mendapat nilai yang lumayan bagus. Kedua ingatan yang samar-samar mulai terkikis itu semakin memuluskan jalanku dalam menyadari kemampuan diri. Pilihanku semakin jelas dan tertambat pada impian juga harapan.

Kakakku yang selalu mewanti-wanti agar bersekolah di Surabaya saja dulu nanti kalau sudah kerja terserah mau memilih kemana kini sudah mengizinkanku. Ayah apalagi. Yang tersisa hanya pendapat Ibu yang masih setengah-setengah. Kadang wejangan beliau terasa menguatkan hati dan menghilangkan beban tetapi juga terkadang ada beberapa perkataan yang sepertinya agak memberatkan kepergianku. Ah... sungguh derita anak manja. Ibu, Ayah, Kakak, keluarga besar dan juga semuanya yang mengenalku, aku mohon doa dari kalian semua agar aku bisa menempuh pendidikanku di tanah orang dengan baik dan bisa segera kembali menjadi seorang yang lebih berguna.

 

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidupmterasa setelah berjuang

Aku melihat air mennjadi rusak setelah diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan

Imam Syafii

Posted via email from Nyol's Posterous

Baca Selengkapnya - Jember Aku Datang!

Sebutir Cerita Tentang Sahabat

Bersyukurlah bila kamu punya sahabat yang begitu dekat dari waktu ke waktu. Aku pernah memiliki seorang sahabat ketika masa anak-anak tapi aku tak menyadari bahwa perbuatanku yang lebih suka beraktivitas seorang diri membuat hubungan itu rusak. Suatu ketika sahabatku di sekolah mengalami patah tulang di bagian tangannya. Setelah berselang beberapa hari paska kejadian aku bersama dengan teman-teman sekelas juga Ibu guru ramai-ramai menjenguk ke rumahnya. Walau bersahabat aku tak pernah tau dimana rumah sahabatku itu sehingga aku terpesona dengan keindahan kampung yang kami lintasi. Untuk sesaat aku masih berada di sana bersama dengan yang lain tapi kemudian aku terbujuk dengan ajakan anak baru yang cukup memiliki pengaruh karena kelihatan dari penampilannya yang lebih keren dan mencolok dari teman-teman yang lain. Aku meniggalkan rumahnya mendahului yang lain tanpa pernah terlihat oleh sahabatku. Begitu dia sudah bisa kembali ke sekolah aku baru merasakan dampak dari perbuatan bodohku itu. Dia pernah bertanya sekali padaku kenapa aku tidak menjenguknya? Aku sudah berusaha menjelaskan kalau aku datang ke rumahnya namun aku kembali lebih dulu dari yang lain tapi rasanya ia masih tak percaya dan kecewa padaku. Sejak saat itu rasanya kami tak ubahnya teman sekelas biasa, tak ada rasa saling terikat yang lebih lagi. Saat SMP giliranku yang mengalami patah tulang di bagian kaki. Sahabatku itu masih satu sekolah denganku, bahkan kami masih satu kelas saat MOS. Selepas itu kami sudah berlainan kelas. Beberapa teman sekelas yang cukup dekat menjengukku ke rumah. Saat itu barulah aku sadar dan mengerti perasaan sahabatku SD ketika tak menemukan sahabatnya menjenguk dirinya.  Aku bersyukur ketika masih ada teman yang menjengukku. Dan ketika hari pertama aku kembali ke sekolah barulah teman-teman yang tidak ikut menjenguk ke rumah datang ke kelasku. Sungguh, menjenguk orang sakit yang terlihat sepele di mata seseorang yang sedang sehat sangat berarti di mata seseorang yang sedang sakit tersebut.

Segala sesuatu yang telah berlalu adalah pelajaran yang berharga, kelak di kemudian hari jangan lupa menengoknya karena pasti ada pelajaran di balik semua itu. 

Posted via email from Nyol's Posterous

Baca Selengkapnya - Sebutir Cerita Tentang Sahabat

Sebutir Cerita Ibuku

Ibu pernah bercerita bahwa saat berusia 3 tahun aku pernah terserang penyakit demam berdarah. Ibu benar-benar khawatir dengan keadaanku yang sudah beberapa malam demam tinggi. Di malam ke tiga Ibu mendapat pesan dari seorang kakek lewat mimpi. Beliau menyuruh Ibu segera membawaku berobat. Sontak ibu terbagun dari tidurnya dan segera menghiraukan Ibu dan berkata agar ke dokternya besok pagi saja. Lalu Ibu bercerita akan mimpinya barusan. Akhirnya Ibu dan Bapak pun membawaku ke dokter malam itu juga. Begitu selesai memeriksa keadaanku, dokter berkata pada orangtuaku bahwa telat beberapa jam saja mungkin nyawaku sudah tidak bisa di tolong. Ibuku benar-benar bersyukur telah membawaku malam itu juga. Begitu dipastikan bahwa aku terserang demam berdarah dan harus mejalani rawat inap di sana, Ibu tak pulang ke rumah walaupun tetap tidak bisa menjagaku secara langsung. Melihat, hanya melihatku dari balik kaca yang bisa Ibuku perbuat karena ruangan pasien demam berdarah tidak boleh dijaga. Ketika melihatku meronta ketakutan dan menangis ketika di gendong oleh suster mungkin Ibu ingin sekali menggantikan suster itu dan membelai lembut tubuhku serta berbisik di telingaku agar jangan takut, anak laki-laki Ibu tidak boleh jadi seorang penakut lalu mengecup lembut keningku.

Manusia adalah makhluk hidup yang begitu rapuh. Tanpa bantuan manusia lain mungkin manusia bisa mati.

Masa-masa Taman Kanak-kanak adalah masa emasku. Aku sering ikut lomba mewarnai dan menari. Walau tak pernah satu pun aku mendapat juara tapi paling tidak saat itu lah dimana segenap kemampuan yang aku miliki pernah tercurahkan. Selepas masa itu tak ada kegiatanku di sekolah yang begitu tampak. Perpisahan TK guruku menunjukkan pada Ibuku  bahwa aku termasuk bocah yang lebih senang dengan kesendirian dalam melakukan aktivitas tanpa bergantung pada orang lain. Tapi layaknya anak-anak lain pula, jika ada yang mengajak bermain aku juga bisa berbaur dan bila tidak ada teman yang mengajak maka aku masih bisa bermain dengan diriku sendiri. Atmosfir Sekolah Dasar benar-benar berbeda dengan TK. Aku kurang tangkas dalam berolah raga dan sering terlambat menyelesaikan soal. Aku masuk kelompok D bersandingkan dengan anak-anak yang kurang tangkas lainnya. Ibuku merasa was-was melihat ketertinggalanku di SD dan semakin terpacu untuk terus mengajariku agar tak sampai tertinggal dengan yang lain. Cawu II aku sudah meninggalkan kelompok D dan di cawu III aku berhasil menyabet juara satu di kelas. Saat pengambilan rapor Ibu mendengar dari guruku langsung kekagumannya atas kehebatan hasil gambarku di ulangan kesenian. Gambar itulah yang menjadi tolak ukur atas predikat juara satu yang kuraih. Ternyata akal-akalan Ibu yang sudah mengetahui nilai tambah diriku dalam hal menggambar dan mewarnai dan terus mengasahnya membuahkan hasil yang sangat manis. Tapi seiring berjalannya waktu jika kini kamu menyuruhku menunjukkan kehebatanku seperti masa itu aku tak bisa menjamin hasilnya karena aku sudah tak pernah menekuninya.

Mulailah menemukan kekuatan dalam dirimu karena sesungguhnya yang bisa menolongmu di saat orang lain sudah tak bisa membantumu adalah dirimu sendiri.

Posted via email from Nyol's Posterous

Baca Selengkapnya - Sebutir Cerita Ibuku