Path Facebook Instagram Twitter Google+

Menelusuri Bangunan Bersejarah di Surabaya (Jilid Jembatan Merah)

Negeri ini adalah negeri yang paling senang menerima kebudayaan baru dari negeri seberang lautan lalu melupakan kebudayaannya sendiri. Begitu pula dengan sejarahnya.

Roodebrug

Untuk kali pertama, kemarin aku bergabung di komunitas sejarah. Hari Minggu 12 Juni 2011, sekelompok orang yang akan menelusuri jejak bangunan-bangunan bersejarah di pusat pemerintahan kota Surabaya pada masa kolonial dalam rentang waktu 1700-an M berkumpul di markas RoodeBurg Soerabaia. Seperti biasa aku berangkat seorang diri kesana karena gak punya temen yang bisa diajak. Beruntung aku bertemu dengan Mas Prima --kakak temanku, penampilannya bagai wartawan saja berkalungkan kamera, tas ransel besar dan jaket. Fotoku pun tak luput dari jepretan kameranya.

Wong_elek

Dia bersama dengan beberapa teman sekampusnya jadi enak aku ada teman ngobrol. Waktu sudah menunjukkan pukul 7.30 saat kami berangkat, molor 30 menit dari jadwal yang direncanakan. Aku bergabung dengan kelompoknya dan naik ke mobil Pak Bagus Kamajaya --kontributor yang sering menulis di blog RoodeBrug. Dari sana kami berangkat bersama menuju Bank Mandiri depan Jembatan Merah Plaza untuk memarkir kendaraan. Di perjalanan Mas Prima banyak bercerita tentang kilasan sejarah kota yang diketahuinya sambil sesekali bertanya pada Pak Bagus begitu pula dengan teman-temannya yang lain. 

Di_mobil
Nanang_purwono
Briefing

Pemandu telusur kami adalah Bapak Nanang Purwono, penulis buku Benteng Benteng Soerabaia dan buku Mana Soerabaia koe. Setelah mendengar sedikit arahan beliau maka kami pun segera beranjak menuju pemberhentian pertama di atas Jembatan Merah. Jika kemarin kamu melihat kerumunan orang berpakaian ala tentara masa lampau di sana maka aku ada diantara mereka --tapi nggak ikut main cosplay. Di atas jembatan kami berkumpul dan mendengar cerita dari Pak Nanang tentang sejarah jembatan merah periode kolonial dimana sungai Kalimas dahulu bernama sungai Surabaya. Jembatan ini dulunya terbuat dari kayu dan bisa di buka-tutup demi kelancaran transportasi air yang kala itu begitu penting adanya. Beberapa kali mengalami pemugaran hingga pemugaran terakhir membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Menurut penuturan Pak Nanang jembatan lain di Surabaya yang masih memakai konstruksi masa kolonial adalah jembatan Peneleh sedangkan jembatan buka-tutup tercanggih adalah jembatan Petekan karena cukup dengan menekan sebuah tombol untuk mebuka dan menutupnya. Nama petekan juga berasal dari kecanggihannya itu. Cerita berlanjut ke periode pertempuran Surabaya oleh Pak Ady Erlianto Setyawan yang sudah sering kita pelajari sejak SD dulu. Pasukan Inggris yang dikomando oleh Brigadier A.W.S Mallaby menguasai gedung Internatio bertempur melawan arek-arek Suroboyo yang berada di seberang jembatan merah dan di balik gedung-gedung sekitar. Cerita selanjutnya disampaikan oleh Pak Hartono Widjaja pada periode kemerdekaan sambil mengenang masa mudanya dulu. Trem listrik pernah menghiasi wajah Surabaya dan beruntung beliau pernah menaikinya bahkan setiap hari untuk pulang pergi ke sekolah.

Hartono_widjaja_di_atas_jembatan

Sebelum cerita ditutup teman Mas Prima yang juga teman Sensei Nobek bertanya karena penasaran kapan trem tersebut berhenti beroperasi. Jawabannya adalah tahun 1968. Berhenti di sini dulu ya ceritanya, masih ada 19 titik pemberhentian lagi jadi tungguin lanjutannya ;D

 

 Sumber Foto: Prima Kirtti Utomo Yusuf

Posted via email from Nyol's Posterous

Baca Selengkapnya - Menelusuri Bangunan Bersejarah di Surabaya (Jilid Jembatan Merah)