Toko Pucuk
Pertengkaran Kecil Minggu Dini Hari
Hari Minggu Bersama Nilam
Hari Minggu adalah hari yang selalu aku nanti. Selain sekolah yang libur tiap hari Minggu lah aku bisa bebas melakukan apa saja sepanjang hari. Aku sudah membuat rencana kegiatan yang akan aku kerjakan untuk mengisi Minggu ini. Usai mengerjakan PR untuk hari Senin aku langsung gosok gigi dan pergi tidur. Semoga besok cerah.
Heran deh, tiap hari Minggu tanpa suara Ibu harus mengiang-ngiang di mimpi aku selalu bisa bangun pagi sendiri tapi kenapa selain hari Minggu nggak bisa? Setelah berguling-guling sekitar lima menit yang sudah menjadi kebiasaan akhirnya aku bangun dan segera menunaikan sholat subuh. Bbrrr.. pagi ini terasa lebih dingin. Tanpa berlama-lama lagi aku segera menyudahi mandi pagiku. Ibu sedang memasak ketika aku keluar dari kamar mandi.
“Ibu lagi masak apa?” Tanyaku sambil menuang air putih ke dalam gelas lalu meneguknya habis.
“Enaknya masak apa?” Ibu balik bertanya.
“Pizza.” Jawabku asal yang berefek pada sorotan mata Ibu kepadaku.
“Kamu meledek Ibu!”
“Hihihi. Masak apa aja deh yang penting enak.”
“Bantu Ibu memasak, Nilam.” Ibu berkata saat menangkap diriku yang melenggang pergi meninggalkan dapur.
“Aku mau menyiram bunga.”
Memasak bukanlah pekerjaan yang kusuka jadi jangan harap aku akan menemani Ibuku bereksperimen dengan bahan makanan yang beragam bentuknya. Momo mendekat sambil mengeong seolah menyapaku. Sambil menunggu pot penyiram bunga penuh aku mengelus bulu-bulu Momo yang berwarna keemasan. Dia memang paling manja terhadapku. Bulu di perut dan kakinya berwarna putih. Kian hari perutnya makin gemuk. Pernah aku bertanya pada Ayah tentang perut Momo itu, lalu Ayah menyimpulkan bahwa Momo sedang hamil muda. Aku tidak memiliki kucing peliharaan selain Momo di rumah. Bagaimana dia bisa hamil? Ayah mengingatkan bahwa Momo sering tidak kelihatan siang hingga sore hari. Lalu dia akan kembali terlihat di rumah ketika malam hingga pagi hari. Beberapa hari lalu Ayah berkata bahwa mungkin dalam waktu dekat Momo akan segera melahirkan. Betapa senangnya aku mendengar analisis dari Ayah.
Ayah tiba di rumah setelah puas lari pagi mengelilingi kompleks. Semua bunga yang ku tanam sendiri juga bonsai milik Ayah yang beragam bentuknya selesai ku siram. Ibu juga sudah selesai memasak. Kami bertiga makan bersama di meja makan belakang yang letaknya di areal kebun. Menu pagi ini untukku adalah udang goreng tepung dan nasi goreng ekstra pedas tak lupa ditambah dengan segelas susu sapi. Menu di piring Ibu sama denganku sedangkan menu milik Ayah porsi nasi gorengnya lebih banyak dan udang goreng tepungnya juga lebih besar dari punyaku. Gelas Ibu berisi teh hangat dan gelas Ayah berisi kopi susu. Bila tadi meja makan sudah diatur rapi sedemikian rupa oleh Ibu untuk menghidangkan sarapan pagi hari ini maka ketika selesai akulah yang bertugas membereskan semuanya lalu mencuci bersih perabotan makannya juga. Usai merapikan semuanya aku bergabung bersama Ayah dan Ibu di ruang keluarga.
“Tadi Nilam minta Ibu memasak pizza.” Ibu mengadu pada Ayah.
“Kenapa nggak dibuatkan?” Kali ini Ayah yang mendapat sorotan mata Ibu.
“Ayah anak sama saja.” Kata ibu sambil mendesah.
Ayah menatapku lalu tersenyum sedangkan aku hanya tertawa geli melihat tingkah Ibu yang lucu dan akhirnya Ibu juga Ayah ikut tertawa bersama-sama. Percakapan pun terus berlanjut dan bersambung ke hal-hal lain. Andai tiap hari bisa seperti ini. Ngobrol santai bertiga dan tertawa bersama sepanjang hari. Hari Minggu memang indah.
Ini adalah proyek menulis yang ku beri nama Serial Minggu. Rencananya dalam judul-judul berikutnya akan ada cerita-cerita singkat mengenai hari Minggu bagi tiap orang yang berbeda atau bisa saja berlanjut. Intinya setiap cerita selalu mengisahkan hari Minggu yang mereka alami. Semoga bisa menghibur :)
Berjuang Bersama Sahabat
Don't Be Average! Jadilah Yang Terbaik
Lanjutan cerita posting sebelumnya.
9 Summers 10 Autumns ditulis sebagai buah manis sejarah kehidupan om Iwan. Dia ingin keponakan-keponakannya tau bahwa perjuangannya untuk sampai di titik ini nggak mudah. Setelah lulus dari IPB om Iwan berangkat ke Jakarta. Di sana dia mulai bekerja. Mencari inspirator itu tidak harus selalu B.J. Habibie dia bilang. Carilah orang-orang di sekitar lingkungan anda. Semangatnya terlecut ketika dia melihat karir seorang kakak kelasnya di IPB yang bekerja sebagai direktur memimpin bule-bule. Kala itu dia mendapat tantangan untuk mengerjakan proyek berskala Asia Pasifik. Dia menerima tantangan itu dan berhasil. Setelah namanya cukup dikenal di kawasan Asia Pasifik ada perusahaan berbasis di New York menawarkan pekerjaan untuknya. Ragu-ragu om Iwan memutuskan. Akhirnya berangkat juga dia ke sana walau hanya berbekal bahasa inggris yang belepotan.
Mimpi yang kecil tapi ingin diraih dengan sungguh-sungguh nantinya akan membuahkan bonus yang tak ternilai harganya
Berangkat ke Amerika bukanlah impiannya. Dia bilang itu adalah bonus dari impiannya ingin memiliki kamar sendiri. Beruntung pekerjaannya tak memerlukan banyak bicara. Dia mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Ketika orang lain merampungkan pekerjaan dalam 3 hari dia bisa selesai dalam 1 hari. Itulah kelebihannya. Karirnya makin menanjak dari waktu ke waktu. Yang dia sayangkan adalah orang Indonesia itu suka sekali di rata-rata. Jika semua orang, apapun pekerjaanya, mau berusaha untuk jadi yang terbaik maka Indonesia bisa lebih baik. Dia berkisah tentang bapaknya. Sopir angkot kan nggak ada tuh jam kerjanya. Tapi bapaknya selalu berangkat jam 5.30 gak pernah telat. Selalu ramah pada penumpang. Penumpang pun jadi terpikat dan banyak langganan.
Don't be average! Jadilah yang terbaik
Masih tentang orang Indonesia. Dia berkata bahwa orang Indonesia itu paling pinter kalau disuruh jiplak (apalagi yang lagi tren), tapi jiplaknya salah. Punk! Dandanan sama persis tapi tingkah laku punkers Amerika sama punkers di sini nggak ada mirip-miripnya. Dia bilang kalau anak punk di sana mainnya ke library! Di sini, main di kolong jembatan iya. Dia mau bikin satu new cool (baca: tren) baru. SMART. Dalam pergaulan juga perlu melihat segi intelektualitas. Ketika kuliah dia bergaul dengan teman dari kota ini lalu menyimpulkan oh begini. Bergaul dengan teman dari pulau ini, oh begini. Begitu seterusnya. Sampai di negeri yang dihuni bangsa seluruh dunia, Amerika pun juga. Hingga dia mulai mengenal apa itu opera, apa itu yoga.
Let's be more intellect
Dia bersyukur memiliki ibu yang memiliki dedikasi tinggi dalam menuntut ilmu. Seandainya dia dibiarkan saja tanpa dorongan untuk sekolah sampai tinggi mungkin saat ini sudah jadi sopir juga. "Coba lihat tokoh-tokoh hebat di dunia. Di balik semua itu ada sosok ibu." katanya. Tiang penyangga Indonesia maju adalah Ibu yang hebat. Dia bahkan menyimpulkan bahwa Gayus itu memang sudah salah didikan sejak kecil. Jika dia masih memiliki hati nurani dia pasti masih memikirkan ibunya, keluarganya. Saat sesi tanya jawab ada pertanyaan mengapa om Iwan memilih kembali ke Indonesia? Bukankah sudah enak hidup di sana. Dia menjawab bahwa 10 tahun tinggal di sana dia tak bisa datang ke pemakaman kakek dan neneknya. Setahun hanya pulang sekali. Tidak ada yang tau hidup seseorang sampai kapan. Dia ingin menemani Ibunya di hari tua.
Inilah petikan kisah dan motivasi yang aku dapat dari bedah buku 9 Summers 10 Autumns.
9 Summers 10 Autumns
Sebulan lebih blog ini tak terjamah :( maaf ya blog karena sudah menelantarkanmu.
Kemarin aku ikutan bedah buku om Iwan Setyawan yang judulnya 9 Summers 10 Autumns di Gramedia Expo. Sehari sebelumnya aku sudah sempat melihat dan membaca sinopsis buku itu di meja display buku terbaru saat berada di Togamas. Mari kita simak ceritaku.
Pagi hari ketika tengah asyik membuka Goodreads untuk melihat update terbaru buku yang dibaca teman-teman, ternyata salah satu teman baru saja membuat review tentang buku itu. Usai membacanya aku pun membuka halaman profil penulisnya. Pantesan sudah ada di sini lah wong penulisnya juga terdaftar di Goodreads. Tak lama aku pun menambahkan om Iwan sebagai teman. Di profilnya itu ada juga alamat Facebook dan Twitter miliknya. Begitu aku membuka profil Facebook om Iwan, ternyata aku sudah berteman dengannya hehehe (kebiasaan add orang sembarangan :P). Setelah melihat-lihat profil Facebooknya dengan teliti aku menemukan informasi yang bagus sekali! Hari ini om Iwan mau bedah buku di Surabaya. Hohoho betapa beruntungnya aku sempat membuka profilnya. Tak ketinggalan aku buka juga Twitter miliknya. Dan bertanya akan kepastian jadwal acara padanya. Ada dua sesi bedah buku 9 Summers 10 Autumns di Surabaya untuk hari ini, pertama pukul 2 siang di Gramedia Tunjungan Plasa lalu berikutnya pukul 4 sore di Gramedia Expo. Karena malas berangkat siang hari ketika matahari masih menyilaukan pandangan aku memilih untuk datang pada sesi kedua di Gramedia Expo.
Sepulang sekolah dan bermain sejenak di kamar keponakanku Nanda sudah mengajakku untuk mengantarnya ke rumah adik sepupu. Aku bilang padanya nanti saja jam 4, sekalian aku pergi ke bedah buku. Usai mengantarkan dia dan adiknya Ninda ke sana aku pun berangkat. Langit terbungkus awan kelabu tebal, tak ada sinar matahari yang menembusnya. Di tengah perjalanan rintik hujan mulai turun dan hujan lebat baru benar-benar turun ketika aku sudah sampai di Gramex, syukur deh gak kehujanan. Begitu tiba di toko bukunya ternyata acara sudah di mulai. Langsung saja aku mencari tempat duduk yang masih kosong. Setelah melihat orangnya langsung ternyata kecil juga :P hihihi. Sebentar.. aku lupa aku dateng pas om Iwan lagi cerita apa :doh: banyak banget sih yang di ceritain hehe. Aku ceritain yang aku inget aja ya ;).
Dia bercerita bahwa buku itu bukan hanya buku tentang dirinya, melainkan buku tentang seluruh keluarganya. Dia terlahir sebagai anak keluarga sederhana dari sopir angkot di kota apel Batu. Cita-citanya ketika masih kecil hanya satu ingin memiliki kamar sendiri, mengingat keadaan rumahnya yang hanya memiliki dua buah kamar yang berisikan banyak saudara. Sejak kecil om Iwan memang bukan anak biasa. Dia pandai mengatur waktu belajarnya. Tiap hari dia meminta ibunya agar membangunkannya jam 2 pagi agar bisa belajar karena selain dini hari suasana rumahnya pasti ramai dan tidak cocok untuk belajar. Ketika sudah jam 3 maka saat itulah kakaknya yang belajar, bergiliran. Dia bercerita betapa ibunya adalah orang nomor satu yang senantiasa menyemangatinya tanpa kenal lelah. Om Iwan bisa kuliah di IPB setelah menjual angkot milik bapaknya dan berhutang uang pada pamannya. Ketika dia sudah akan menyerah karena tak sanggup menghadapi tekanan ilmu statistika jurusannya dan beban hutang keluarganya, ibunya hanya berpesan "coba dulu." setiap akan menyerah selalu ibunya berpesan seperti itu. Dia juga bercerita betapa bapaknya adalah seorang yang bertempramen tinggi. Pernah suatu hari ketika dia masih kecil, bapaknya pulang kerja dan saat itu juga ibunya meminta uang belanja. Bukan uang yang di dapat malah suara bentakan penuh amarah. Saat itu dia dan saudara-saudaranya hanya mampu bersembunyi di kamar. Ketika pertengkaran sudah berakhir, om Iwan memberanikan diri keluar mencari ibunya. Dia menemukan ibunya di dapur berjongkok sambil menangis. Dia mendekati ibunya. Ibunya meraih tangan kecilnya, menggandengnya dan berjalan keluar masih dengan mata yang basah. Om Iwan menceritakan kejadian itu, matanya berkaca-kaca dan berkata, "Aku gak mau melihat ibuku menangis lagi."
Om Iwan adalah anak ketiga (aku gak tau dari berapa bersaudara :P ). Dia bercerita bahwa kakaknya yang pertama tidak bisa kuliah karena tidak lolos UMPTN akhirnya memutuskan untuk bekerja dulu dan mencoba lagi tahun depan. Ketika tahun depan tiba giliran adiknya atau kakak Om Iwan yang kedua untuk kuliah. Kakak pertamanya mengurungkan niat kuliah demi bisa membiayai kuliah kakak kedua. Ketika tiba giliran Om Iwan yang kuliah, tidak ada yang bisa membiayainya. Karena hal itulah angkot bapaknya terpaksa harus di jual kebetulan saat itu bapaknya sudah tidak menyopir angkot lagi. Dia benar-benar bersyukur memiliki keluarga yang dapat saling membantu kesusahan masing-masing anggotanya. Ketika kuliah kakak keduanya pernah di kirim ke Jepang sebagai siswa pertukaran budaya. Pulang dari sana dia mendapat uang jajan yang dipakai untuk beli tape recorder. Sisa uang tidak dihabiskan layaknya remaja lainnya melainkan untuk mengganti lantai rumah dengan keramik. Om Iwan berkata bahwa hati kakaknya itu nempel di lantai rumahnya. Yang membuat kakak perempuannya terus berjuang tak kenal menyerah juga ibunya. Beliau tak ingin anak-anaknya nanti sengsara seperti dirinya yang bergantung pada suami. Dia ingin anak-anak perempuannya juga bisa cari uang sendiri.
Itulah sedikit kisah tentang keluarga Om Iwan Setyawan, penulis 9 Summers 10 Autumns. Cerita belum berakhir sampai di situ saja. Pegel ngetiknya nih, tunggu lanjutannya ya ;).