Path Facebook Instagram Twitter Google+

Toko Pucuk

Aku ini… (binatang jalang?) bukaaaaaan!!! Aku ini pecinta buku yang gak terlalu akut. Cerita kali ini sebenarnya lanjutan dari cerita yang judulnya apa yah??? Entahlah aku sudah lupa akibat terlalu lama menelantarkan cerita pendahulunya.
Sesampainya tiba di kawasan perdagangan terbesar buku bekas dan “buku bajakan” (sekarang marak sekali buku laris dicetak sama penerbit yang tidak memiliki hak mencetak dari penerbit maupun penulis) di jalan Semarang, aku pun masuk ke toko pucuk (bukan nama toko yang sebenarnya). Karena letaknya saja yang berada di ujung ke-2 maka aku memberi nama sesuai keinginanku. Lalu bagaimana dengan toko yang pertama, apa aku tidak masuk? Jawabannya: ya, aku tidak main kesana karena tidak menarik sama sekali. Aku paling suka masuk ke toko yang satu ini dan bermain-main selama mungkin di dalamnya meskipun ketika keluar tak membuahkan hasil karena buku di sini mahal walau sudah bekas. Kalau sudah masuk toko buku apa pun bentuknya pasti lupa deh sama daftar buku yang dari kemarin dulu sudah tertata rapi di awang-awang (salah sendiri gak di tulis. Ribet tau!).
Saat melihat bagian bawah rak tengah dekat kasir (jangan membayangkan kasir di sini memakai komputer dan segala macam anteknya semisal alat gesek kartu dan printer ya) aku menemukan cergam berwarna terbitan gagas media. Sejak kapan gagas bikin cergam? Kisah tentang anak-anak pula? Dalam hitungan detik buku yang menyilaukan itu sudah berada di tangan dan mata sudah mulai membaca dan melihat gambar-gambar yang menghiasi buku itu. Ceritanya cukup sederhana, mengisahkan seorang anak gadis kecil yang memiliki rambut yang susah di atur (aku lupa judulnya). Gambar rambutnya lucu banget deh sampai bikin aku senyum-senyum sendiri mengingatkan akan rambut yang tumbuh di atas kepalaku. Dia begitu kesal dengan rambutnya itu. Walau sebagaimanapun usahanya pasti rambutnya itu tak mau tertata rapi. Hingga suatu hari ada angin kencang yang berhembus di kota. Ketika itu dia juga berada di sana. Usai angin berhembus dia tertawa terbahak-bahak melihat rambut orang-orang di sekitarnya. Orang-orang itu pun tertawa melihat orang lain yang berada di dekatnya. Kini tak hanya gadis kecil itu yang berambut awut-awutan :). Dia pun tak memusingkan lagi masalah rambutnya.
Selain buku itu ada lagi cergam lain yang aku lupa judul sekaligus kisahnya apa :cry: (salah sendiri gak langsung bikin posting, ya gini deh jadinya, lupa semua). Usai membaca dua cergam tadi aku masuk jauh lebih dalam. Suasana tempat ini masih sama seperti ketika terakhir aku mengunjunginya kira-kira semester pertama kelas 3 SMA. Yang paling membuatku menyesal meninggalkan toko ini beberapa tahun silam (kok kayak jadul banget sih, padahal juga baru dua tahun ninggalin bangku SMA) adalah aku tak jadi membeli Lord of The Ring yang entah itu buku yang ke berapa. Saat aku menemukan LOTR lengkap dan membolak-balik ketiganya yang ternyata versi asli terbitan warner books itu pemilik toko yang masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya itu mengambilkan LOTR yang dulu aku inginkan :). Dalam kurun waktu 2 tahun buku itu belum laku? Ahahaha.. rasain. Lho kok rasain? Biarin emang orangnya juga kalo jualan mahal sih :P.  Aku memegang buku itu sepintas lalu meletakkannya lagi.
“Buku Pramoedya Ananta Toer ada gak mas?” aku berbasa-basi karena memang sudah tau sejak awal bahwa tak ada satu judul pun buku Pram tersembunyi diantara rak buku di sini.
“Pram…” pemilik toko itu tertawa agak sinis namun singkat saja, “gak ada mas.”
Benar kan, dia bahkan menyebut Pram saja. Aku belum pernah bertanya Pram sang legenda pada pemilik toko ini sebelumnya. Jika pertanyaan ini aku lontarkan pada pemilik kios buku lain (tiada toko sebesar yang satu ini di sepanjang jalan Semarang) belum tentu mereka tau bahkan bisa saja mereka menyuruhku mengulang lagi pertanyaanku. Orang ini terlalu cerdas untuk berjualan buku bekas, makanya dia tidak mau menurunkan harga bukunya walau sudah bekas sekali. Aku menemukan PAPILLON. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa benar ini adalah buku yang sering disebut oleh GOLA GONG dalam baladanya bersama si ROY. Sayangnya buku ini terlalu tua dan kusam. Ditambah buku ini seri dan harganya yang baru saja aku tanyakan: Rp17.000. Baiklah aku kembalikan ke rak. Semoga kita masih bisa bertemu lagi layaknya LOTR ;).
Aku mengelilingi setiap rak buku yang tertata rapi di seluruh tembok ruangan. Aku sampai tak tau pasti apa yang ada di balik semua rak buku ini. Apa itu tembok bata, tembok bersemen, atau tembok yang bahkan begitu indah dengan balutan cat warna merah jambu? Aha aku menemukan CA BAU KAN. Hm.. bukunya masih bagus tapi masalah harga belum tentu sama bagusnya. Aku tak menyentuh sedikit pun buku itu. Beralih ke barisan di bawahnya, lalu sampingnya, dan sampingnya lagi. Ada begitu banyak buku-buku jadul yang menyita perhatianku. Mulai dari yang berbahasa Indonesia, Jawa, Belanda, Jepang, Inggris hingga buku berbahasa Rusia. Andai aku mengerti banyak bahasa ingin rasanya membeli semua buku tua itu. Sampul buku yang terbungkus kulit tanpa ilustrasi gambar membuatku merasa sedang berada di perpustakaan yang di gambarkan dalam film Harry Potter. Puas menghirup bau buku-buku tua yang menyimpan sebagian sejarah perjalanannya hingga sampai di toko pucuk ini, aku pun melangkah pergi meninggalkan mereka tetap tertata rapi di rak kayu yang menjulang tinggi hingga ke atap kayu paling rendah.
Perjalananku tak hanya sampai di sini. Begitu keluar hanya bergerak beberapa jengkal saja sudah masuk kawasan kios buku lain. Di sini tak begitu menarik namun aku bertemu dengan buku yang pasti diketahui oleh semua pecinta buku dan pecinta film. GONE WITH THE WIND! Baru tau aku bahwa dulunya buku ini di terbitkan menjadi beberapa seri, bukan seperti terbitan sekarang yang sudah dijadikan satu bundel yang tebalnya bukan main nyamannya jika dijadikan bantal. Sayangnya buku itu sudah rusak parah banyak halaman yang terlepas dan hanya tersisa jilid satu saja di situ. Meninggalkan kios itu perlu beberapa jangkah kaki untuk sampai di kios berikutnya. Dulu ketika aku masih kecil hingga terakhir aku kelas 2 SMA, sepanjang kiri kanan jalan Semarang ada kios buku. Sekarang kios yang tak berada di dalam naungan bangunan atau rombong pindah ke KAMPOENG ILMU. Satu, dua, tiga kios terlewatkan tanpa temuan buku yang menyilaukan. Yang ku temukan malah beberapa skripsi mahasiswa Universitas ***** yang di jual begitu saja di antara tumpukan buku bekas lain. Aku tak menemukan buku-buku istimewa lagi hingga hampir sampai di kios paling ujung.
Kini sampailah aku di kios paling ujung. Awan mendung sudah menyelimuti seluruh permukaan langit hingga matahari tak terlihat lagi sinarnya. Ini bukan kios. Pikirku dalam hati. Aku pernah mampir ke sini tapi tak sampai menjelajah ke dalam karena seingatku terakhir mencari buku hingga sampai di sini rasanya aku terlalu tergesa-gesa. Jika toko pucuk adalah toko pembuka yang berada di ujung jalan dari arah pasar turi maka toko yang ini berada di ujung jalanan dari arah sebaliknya berhadapan dengan SPBU. Toko ini walau cukup besar juga namun tak memiliki banyak koleksi bagus. Penjaganya juga terlalu banyak menurutku, empat orang dan kesemuanya adalah wanita. Ketika aku masuk jauh ke dalam ada pick up yang berhenti di depan toko ini. Aku tak menghiraukan dan melanjutkan penyisiranku pada rak buku terdalam. Salah seorang penjaga masuk hingga dekat sekali dengan tempatku berdiri mengamati rak. Dia mengambil dua buah buku dan berbicara lantang sambil kembali menuju orang dalam pick up. Aku menemukan buku ERNEST HEMINGWAY masih tersegel. Alih-alih ingin mendengar percakapan mereka di luar maka aku membawa buku itu dan bertanya harganya pada salah seorang dari mereka berempat.
Ternyata pick up yang berhenti tadi menawarkan beberapa buku yang masih tersegel. Jadi begini cara mereka bisa mendapatkan buku yang masih tersegel. Kalau yang ini sih bukan buku bajakan, melainkan buku sisa yang tidak laku di toko buku besar. Aku bisa melihat salah satu judulnya dan ternyata bukan buku bagus juga. Hanya buku tentang komik naruto, one piece dan lain-lain. Yang membuatku terperanjat adalah sekitar 8 buku kira-kira hanya mereka tawar dengan harga 10 ribu! Setelah berdabat demi memperoleh kesepakatan akhirnya buku-buku itu kini ikut meramaikan rak toko. Gila… yang benar saja. Aku baru saja membayar untuk satu biji buku ERNEST HEMINGWAY dengan harga sama persis dengan harga 8 buku itu. Mereka tidak sungkan sama sekali denganku. Bagaimana jika aku yang mencoba menawar buku mereka dengan harga seperti itu? Tentu mereka akan marah besar. Tapi itulah hidup setiap orang yang berusaha pasti diberi kemudahan oleh Tuhan. Tidak setiap hari juga uang akan mampir di toko ini. Dengan mendapat untung besar di setiap penjualan mereka bisa melanjutkan hidup.
Perjalanan belum berakhir. Nantikan kelanjutannya :D
Baca Selengkapnya - Toko Pucuk

Pertengkaran Kecil Minggu Dini Hari

Perkenalkan namaku Andrew. Aku mau berbagi cerita di sini. Tadi malam aku terjaga dari tidurku. Mendengar suara pertengkaran yang semakin meninggi aku pun memaksakan diri untuk terlibat.
“Jangan kau selalu menggandoli cucumu.” Kata Bapak mengintimidasi Ibu.
“Siapa yang menggandolinya? Kau tak lihat aku sedang mandi ketika dia menangis?”
“Tapi kau selalu seperti itu. Mendidik anak jadi tak mau pulang bersama Ibunya.”
Tadi sore Lily keponakankumenangis setelah merengek-rengek pada Ibunya minta diberi uang jajan namun tak segera dikasih dengan dalih tak ada yang menemani. Entahlah, aku tak mengerti jalan pikiran orangtua itu seperti apa. Sejak kecil aku tak pernah dan jarang sekali disuruh oleh orangtuaku membeli barang yang mereka butuhkan. Mereka terlampau sayang padaku dan lebih memilih menyuruh sepupuku yang usianya juga tak terpaut jauh dariku. Kini ketika masa dewasaku apa yang mereka suruhkan padaku terkadang tak aku penuhi dan hasilnya tentu saja sepupuku yang akhirnya berangkat menggantikanku. Aku sudah menduga hal itu makanya aku berani menolak. Kini hal seperti itu berulang pada keponakanku ini. Ibunya bisa saja langsung memberinya uang dan masalah tak kan pernah terjadi. Tapi lagi-lagi karena rasa sayang yang berlebihan Ibunya tak menizinkan Lily beli sendiri. Akhirnya Lily pun menangis dan berteriak-teriak seperti biasa.
Cara menangisnya benar-benar jelek, jangan ditiru ya. Nenekku yang juga merupakan nenek buyutnya Lily keluar mendengar tangisnya yang tak henti-henti. Lily kalau sudah menangis pasti ujung-ujungnya minta digendong. Nenek sudah hafal itu. Tidak ada yang biasa menggendongnya di sini tapi itu selalu Lily minta ketika ia menangis. Ibunya tidak langsung menggendongnya hingga membuat tangisnya tak juga reda. Ketika Nenek sudah duduk di hadapan Lily yang menangis barulah Ibunya mau menggendongnya. Hah.. satu lagi yang tak aku mengerti dari orangtua. Ibu Lily yang juga merupakan kakaku ini tak mau anaknya manja dan selalu minta gendong. Apa tak digendong ketika menangis sedangkan tak membiarkan anaknya membeli kebutuhannnya sendiri akan membuatnya menjadi anak yang tidak manja? Ketika menangis tadi saudara kembarnya, Lala bersama dengan sepupuku (kali ini bukan sepupu yang sama dengan sepupu di masa kecilku melainkan adiknya yang paling kecil) lah yang akhirnya berangkat karena Lily termasuk anak yang susah dibujuk ketika sudah menangis. Ibuku baru selesai mandi saat Lily sudah diam dan mendapat jajan yang diinginkannya. Tak lama Bapak pun tiba di rumah. Saat itu juga kakakku mengajak kedua anak kembarnya ikut pulang bersamanya. Lala dan Lily bersekolah di sini. Kedua orangtuanya bekerja dan hanya mampir ketika sore hari. Lala sering ikut pulang bersama Ibu dan Ayahnya. Tapi tidak demikian dengan Lily. Lily lebih suka tinggal di sini, di rumah tempat tumbuh Ibunya dulu.
Aku tak tau apa yang terjadi selanjutnya, yang terlihat olehku hanya Lily yang tak mau pulang dan duduk di pangkuan Ibuku. Akhirnya Lily pun tinggal setelah bujuk rayu orantuanya tak mempan. Ibu memang terlampau sayang terhadap Lily.
“Aku tak mendidiknya seperti itu. Dia memang tak mau pulang.”
“Setidaknya kau harus membujuknya agar mau pulang. Bukan malah menggandolinya agar tetap di sini.”
“Sudah ku bilang aku sedang mandi ketika ia menangis.” Air mata Ibu mulai tumpah.
“Kadang aku merasa tak kuat menjadi istrimu.”
“Kalau diberi tau selalu begitu.” Mendengar kalimat terkakhir Ibu tangan Bapak mulai ikut bicara. Aku yang sudah berada di kamar itu mencegahnya.
“Sudahlah. Tengah malam kok ribut.” Aku berkata pada mereka yang ada di situ.
“Lihat, Lily sampai terbangun.”
Aku melihat wajah Lily benar-benar pucat, tak berani menatap orang-orang yang ada di situ. Setelah hampir satu menit berdiri di tempat akhirnya Bapak pun keluar kamar. Ibu masih terisak-isak. Aku mendekati Lily dan mengecup pipinya. Seraya berkata agar tidur lagi. Pandangan matanya masih kosong. Entah sudah berapa lama dia terbangun sama seperti ku ketika mendengar pertengkaran tadi. Aku merasakan jantungnya masih berdebar kencang membuatku teringat akan masa kecilku yang sama dengan apa yang dialami oleh Lily saat ini. Aku lupa apa gerangan yang memicu pertengkaran Ibu dan Ayah waktu itu. Yang pasti akibat ulahku juga. Ibu terisak-isak sama seperti malam ini. Aku benar-benar merasa bersalah waktu itu. Hingga membuatku selalu mengingat peristiwa tersebut. Ibuku orangnya terlalu sensitif jika berbicara menyangkut kelalaian dan kesalahan dirinya. Sedangkan Bapakku orangnya keras kepala dan tak mau mendengar perkataan istri maupun anak-anaknya, maunya menang sendiri. Menjadi ketua RT pun tak pernah beliau mendiskusikan dengan keluarganya. Aku anaknya yang sudah kuliah bahkan kakakku yang sudah bekerja dan punya anak sendiri tak pernah dimintai pendapat terhadap masalah apa pun. Bapak lebih suka bertukar pendapat dengan antek-anteknya (sebutanku buat sahabat-sahabat dekatnya). Semoga Lily tak terluka perasaannya akibat melihat pertengkaran barusan. Aku menemaninya hingga terlelap. Jika sudah menikah dan punya anak nanti, aku tak mau merepotkan orangtuaku.
Baca Selengkapnya - Pertengkaran Kecil Minggu Dini Hari

Hari Minggu Bersama Nilam

Hari Minggu adalah hari yang selalu aku nanti. Selain sekolah yang libur tiap hari Minggu lah aku bisa bebas melakukan apa saja sepanjang hari. Aku sudah membuat rencana kegiatan yang akan aku kerjakan untuk mengisi Minggu ini. Usai mengerjakan PR untuk hari Senin aku langsung gosok gigi dan pergi tidur. Semoga besok cerah.

Heran deh, tiap hari Minggu tanpa suara Ibu harus mengiang-ngiang di mimpi aku selalu bisa bangun pagi sendiri tapi kenapa selain hari Minggu nggak bisa? Setelah berguling-guling sekitar lima menit yang sudah menjadi kebiasaan akhirnya aku bangun dan segera menunaikan sholat subuh. Bbrrr.. pagi ini terasa lebih dingin. Tanpa berlama-lama lagi aku segera menyudahi mandi pagiku. Ibu sedang memasak ketika aku keluar dari kamar mandi.

“Ibu lagi masak apa?” Tanyaku sambil menuang air putih ke dalam gelas lalu meneguknya habis.

“Enaknya masak apa?” Ibu balik bertanya.

“Pizza.” Jawabku asal yang berefek pada sorotan mata Ibu kepadaku.

“Kamu meledek Ibu!”

“Hihihi. Masak apa aja deh yang penting enak.”

“Bantu Ibu memasak, Nilam.” Ibu berkata saat menangkap diriku yang melenggang pergi meninggalkan dapur.

“Aku mau menyiram bunga.”

Memasak bukanlah pekerjaan yang kusuka jadi jangan harap aku akan menemani Ibuku bereksperimen dengan bahan makanan yang beragam bentuknya. Momo mendekat sambil mengeong seolah menyapaku. Sambil menunggu pot penyiram bunga penuh aku mengelus bulu-bulu Momo yang berwarna keemasan. Dia memang paling manja terhadapku. Bulu di perut dan kakinya berwarna putih. Kian hari perutnya makin gemuk. Pernah aku bertanya pada Ayah tentang perut Momo itu, lalu Ayah menyimpulkan bahwa Momo sedang hamil muda. Aku tidak memiliki kucing peliharaan selain Momo di rumah. Bagaimana dia bisa hamil? Ayah mengingatkan bahwa Momo sering tidak kelihatan siang hingga sore hari. Lalu dia akan kembali terlihat di rumah ketika malam hingga pagi hari. Beberapa hari lalu Ayah berkata bahwa mungkin dalam waktu dekat Momo akan segera melahirkan. Betapa senangnya aku mendengar analisis dari Ayah.

Ayah tiba di rumah setelah puas lari pagi mengelilingi kompleks. Semua bunga yang ku tanam sendiri juga bonsai milik Ayah yang beragam bentuknya selesai ku siram. Ibu juga sudah selesai memasak. Kami bertiga makan bersama di meja makan belakang yang letaknya di areal kebun. Menu pagi ini untukku adalah udang goreng tepung dan nasi goreng ekstra pedas tak lupa ditambah dengan segelas susu sapi. Menu di piring Ibu sama denganku sedangkan menu milik Ayah porsi nasi gorengnya lebih banyak dan udang goreng tepungnya juga lebih besar dari punyaku. Gelas Ibu berisi teh hangat dan gelas Ayah berisi kopi susu. Bila tadi meja makan sudah diatur rapi sedemikian rupa oleh Ibu untuk menghidangkan sarapan pagi hari ini maka ketika selesai akulah yang bertugas membereskan semuanya lalu mencuci bersih perabotan makannya juga. Usai merapikan semuanya aku bergabung bersama Ayah dan Ibu di ruang keluarga.

“Tadi Nilam minta Ibu memasak pizza.” Ibu mengadu pada Ayah.

“Kenapa nggak dibuatkan?” Kali ini Ayah yang mendapat sorotan mata Ibu.

“Ayah anak sama saja.” Kata ibu sambil mendesah.

Ayah menatapku lalu tersenyum sedangkan aku hanya tertawa geli melihat tingkah Ibu yang lucu dan akhirnya Ibu juga Ayah ikut tertawa bersama-sama. Percakapan pun terus berlanjut dan bersambung ke hal-hal lain. Andai tiap hari bisa seperti ini. Ngobrol santai bertiga dan tertawa bersama sepanjang hari. Hari Minggu memang indah.

 

Ini adalah proyek menulis yang ku beri nama Serial Minggu. Rencananya dalam judul-judul berikutnya akan ada cerita-cerita singkat mengenai hari Minggu bagi tiap orang yang berbeda atau bisa saja berlanjut. Intinya setiap cerita selalu mengisahkan hari Minggu yang mereka alami. Semoga bisa menghibur :)

Posted via email from Nyol's Posterous

Baca Selengkapnya - Hari Minggu Bersama Nilam

Berjuang Bersama Sahabat

Untuk sahabat SMAku, Deny Fattah dan segenap rekan-rekan yang telah berjuang bersama-sama telah menempuh UNAS tahun 2009. Cerpen ini pernah diikutkan pada lomba serba-serbi ujian nasional tapi belum menang :) Selamat menikmati.
Dua orang sahabat itu saling berjabat tangan lalu berpelukan. Bukan karena mereka sudah lama tak bertemu, melainkan karena mereka baru saja mendapat kabar gembira yang telah berbulan lamanya dinanti-nanti. Walau lulus dengan nilai pas-pasan mereka benar-benar gembira. Kerja keras dan doa mereka selama satu tahun terakhir tidaklah sia-sia.
Sembilan bulan sebelum UNAS
            “Kayaknya hari ini bakal jadi kunjungan terakhir kita deh.” Sambil terus melihat nilai rapornya yang baru saja dibagikan, Agung berkata pada Deny.
            “Emangnya kita mau kemana?”
            “Ke neraka.”
            “Hah!!!”
            Hari ini adalah hari pembagian rapor kenaikan kelas. Sepulang sekolah seusai menerima rapor masing-masing, kedua sahabat pecinta buku itu langsung pergi menuju toko buku langganannya yang berada di Jalan Diponegoro. Walau tiga jam sudah berlalu mereka masih belum puas juga membolak-balik belasan bahkan puluhan buku yang menurut mereka menarik. Bagi mereka berada di toko buku, perpus, persewaan buku, atau semua tempat lainnya yang berisi buku-buku maka sama halnya dengan anak kecil yang tengah berada di taman bermain.
            “Kamu beli apa? Aku mau bayar nih.”
            “Nih.” Sambil menyerahkan komik One Piece pada Agung, Deny menjawab, “CP9 VS bajak laut Luffy. Seru Gung!”
            “Oke, mana duitmu.”
            Sambil menyerahkan uang Deny tak lupa berkata, “Balikin kembaliannya.”
            Perjalanan pulang mereka isi dengan obrolan tentang pertukaran kelas yang selalu menimbulkan rasa penasaran karena setiap tahunnya para siswa akan diacak untuk menempati kelas baru dan beberapa teman baru hasil pertukaran kelas.
            “Maksud pernyataanmu tadi apa sih?” Deny bertanya pada Agung.
            “Pernyataan yang mana?” Agung balik bertanya.
            “Yang neraka-neraka tadi. Kalau pun aku harus masuk neraka, aku nggak sudi ya barengan sama kamu.” Jawab Deny sambil nyengir.
            “Aku timpuk pakai sepatu tahu rasa kau ya!”
            Mereka terdiam sesaat.
            “Kelas XII adalah masa yang paling sulit, untuk itulah aku menyebutnya NERAKA.”
            “Oh… gitu toh. Tapi kayaknya kamu terlalu hiperbolis deh.”
            Tanpa sungkan lagi Agung mencekik sambil menggoyang-goyangkan leher Deny hingga lidahnya terjulur dan matanya melotot.
Enam bulan sebelum UNAS
            “Kalau kalian masih saja bermalas-malasan seperti ini bagaimana kalau kalian tidak lulus?” Pak Kenang yang sudah kehabisan akal untuk menghadapi tingkah laku siswa kelas XII hanya sanggup menasehati.
Kriiiiiiiiiiing!
            Tanpa menunggu lagi Pak Kenang segera meninggalkan kelas disusul dengan siswa siswi di belakangnya. Agung masih saja terdiam di bangkunya ketika kelas sudah sepi. Bagaimana masa depannya kalau dua kata terakhir Pak Kenang tadi menghiasi sejarah hidupnya. Mengerikan!
Tuk. Lamunannya buyar ketika ada seseorang melempar kepalanya dengan pesawat kertas.
            “Sedang apa kawan? Dari tadi di tungguin di bawah malah asyik bengong sendirian di sini.” Ternyata orang itu adalah Deny.
            “Ah… enggak. Ayo kita pulang.”
            “Kamu nggak papa kan?” Melihat tingkah sahabatnya yang agak aneh itu Deny jadi khawatir.
            “Nggak papa kok. Ayo pulang, sudah sore nih.”
Dua bulan sebelum UNAS
            Mengapa aku masih belum juga bisa mengerjakan soal busuk ini! Agung mengumpat-umpat dalam hati. Benar saja jika dia mulai cemas memikirkan masa depannya. UNAS tinggal dua bulan lagi tapi dia masih saja kesulitan mengerjakan soal Try Out di tempat les. Semua persiapan yang telah dilatih sendiri olehnya belum membuahkan hasil. Otaknya sudah buntu lantas soal yang belum terjawab masih cukup banyak. Besok aku mau ke rumah Deny dan menanyakan soal yang tidak aku mengerti ini. Akhirnya dia menyerahkan lembar jawab yang sudah pasti jelek hasilnya itu pada pengawas Try Out.
            “Ajari aku kimia, Den.” Kata Agung setelah dipersilahkan masuk ke dalam rumah oleh Deny.
            “Santai kawan, duduk lah dulu dan ambil nafas.” Deny tersenyum lalu melangkah ke dalam.
            Agung melakukan apa yang dikatakan Deny. Dia segera menghempaskan tubuhnya di atas sofa empuk berwarna kuning cerah. Tak berapa lama Deny keluar lagi sambil membawa dua gelas besar es jus lemon segar.
            “Apa sih yang tidak kamu kuasai dalam kimia? Kimia kan gampang.”
            “Gampang katamu!” perkataan Deny yang terdengar agak sombong barusan membuat Agung jadi sedikit emosi.
            “Lalu kau sendiri, apa yang tak kau kuasai dari fisika?” Agung melanjutkan perkataannya.
            “Kenapa jadi tegang begini? Santai kawan, santai.” Lagi-lagi Deny hanya tersenyum.
            Tidak ada yang bisa menjawab kesusahan dalam menangkap pelajaran yang tidak dikuasai oleh masing-masing. Untuk mencairkan suasana Deny menyalakan televisi dan mencari acara yang biasa memutarkan video klip lagu-lagu.
            “Ngapain juga dulu masuk IPA. Toh sekarang jadi kelimpungan kayak gini.” Deny memulai lagi percakapan.
            “Karena nggak ada jurusan bahasa di sekolah kita.”
            “Hm… kalau aku karena tidak suka IPS.”
            “Lalu kenapa kau nggak suka fisika? Fisika kan juga cabang dari IPA.”
            “Kalau itu sih karena gurunya tidak enak saat mengajar. Aku jadi sulit menangkap.”
            Sambil melempar bantal sofa pada Deny dia berkata, “Kau ini paling bisa kalau cari alasan saja.”
            Mereka berdua tertawa bersama melupakan sejenak rasa gundah yang tiap hari makin menyesakkan dada mereka. Usai belajar bersama mereka bersantai di teras.
            “Semua yang kita pelajari selama tiga tahun ini akhirnya hanya dilihat dari nilai UNAS. Sungguh aneh system di negara kita ini.”
            “Padahal belum tentu juga semua hal tersebut berguna bagi kelangsungan hidup kita di masa depan.” Deny menyambung pendapat Agung.
            “Sudah sore nih. Aku pulang dulu Den.”
            “Oke bos. Hati-hati di jalan.”
            Setelah berpamitan dengan Papa dan Mama Deny, Agung pun pulang.
Beberapa menit sebelum pelaksanaan UNAS hari terakhir
            “Assalamu’alaikum Warrahmatullah.”
            Usai sholat Dhuha di masjid sekolah, kedua sahabat ini begitu tenang untuk menghadapi UNAS hari terakhir. Dalam beberapa ratus menit lagi UNAS yang bagaikan monster bagi semua siswa di seluruh Indonesia ini akan berakhir. Agung dan Deny sudah tak segugup hari pertama pelaksanaan ujian.
“Tinggal selangkah lagi!” Kata Deny.
“Ya.” Jawab Agung dengan mantap.
Kriiiiiiiiiiing!
Beberapa menit sesudah pelaksanaan UNAS hari terakhir
            Soal matematika sukses menutup perayaan UNAS tahun ini sampai titik darah penghabisan dengan mati-matian. Banyak siswa yang keluar kelas dengan wajah kusut, muram, dan pucat. Diantara banyaknya wajah seperti itu di SMA Ta’miriyah Surabaya, ada dua wajah yang masih menampakkan secuil senyum harapan. Pemilik dua wajah itu tak lain adalah Agung dan Deny. Dua sahabat ini telah berhasil melalui masa-masa di neraka seperti yang pernah disebut oleh Agung. Segenap kemampuan sudah mereka kerahkan demi bisa bernafas lagi setelah menghadapi lima hari penentuan yang menimbulkan rasa sesak di dada. Kini mereka bisa menikmati hari-hari terakhir mereka di SMA yang tak kan pernah bisa diulang lagi.
Baca Selengkapnya - Berjuang Bersama Sahabat

Don't Be Average! Jadilah Yang Terbaik

Lanjutan cerita posting sebelumnya.

 

9 Summers 10 Autumns ditulis sebagai buah manis sejarah kehidupan om Iwan. Dia ingin keponakan-keponakannya tau bahwa perjuangannya untuk sampai di titik ini nggak mudah. Setelah lulus dari IPB om Iwan berangkat ke Jakarta. Di sana dia mulai bekerja. Mencari inspirator itu tidak harus selalu B.J. Habibie dia bilang. Carilah orang-orang di sekitar lingkungan anda. Semangatnya terlecut ketika dia melihat karir seorang kakak kelasnya di IPB yang bekerja sebagai direktur memimpin bule-bule. Kala itu dia mendapat tantangan untuk mengerjakan proyek berskala Asia Pasifik. Dia menerima tantangan itu dan berhasil. Setelah namanya cukup dikenal di kawasan Asia Pasifik ada perusahaan berbasis di New York menawarkan pekerjaan untuknya. Ragu-ragu om Iwan memutuskan. Akhirnya berangkat juga dia ke sana walau hanya berbekal bahasa inggris yang belepotan.

Mimpi yang kecil tapi ingin diraih dengan sungguh-sungguh nantinya akan membuahkan bonus yang tak ternilai harganya

Berangkat ke Amerika bukanlah impiannya. Dia bilang itu adalah bonus dari impiannya ingin memiliki kamar sendiri. Beruntung pekerjaannya tak memerlukan banyak bicara. Dia mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Ketika orang lain merampungkan pekerjaan dalam 3 hari dia bisa selesai dalam 1 hari. Itulah kelebihannya. Karirnya makin menanjak dari waktu ke waktu. Yang dia sayangkan adalah orang Indonesia itu suka sekali di rata-rata. Jika semua orang, apapun pekerjaanya, mau berusaha untuk jadi yang terbaik maka Indonesia bisa lebih baik. Dia berkisah tentang bapaknya. Sopir angkot kan nggak ada tuh jam kerjanya. Tapi bapaknya selalu berangkat jam 5.30 gak pernah telat. Selalu ramah pada penumpang. Penumpang pun jadi terpikat dan banyak langganan.

Don't be average! Jadilah yang terbaik

Masih tentang orang Indonesia. Dia berkata bahwa orang Indonesia itu paling pinter kalau disuruh jiplak (apalagi yang lagi tren), tapi jiplaknya salah. Punk! Dandanan sama persis tapi tingkah laku punkers Amerika sama punkers di sini nggak ada mirip-miripnya. Dia bilang kalau anak punk di sana mainnya ke library! Di sini, main di kolong jembatan iya. Dia mau bikin satu new cool (baca: tren) baru. SMART. Dalam pergaulan juga perlu melihat segi intelektualitas. Ketika kuliah dia bergaul dengan teman dari kota ini lalu menyimpulkan oh begini. Bergaul dengan teman dari pulau ini, oh begini. Begitu seterusnya. Sampai di negeri yang dihuni bangsa seluruh dunia, Amerika pun juga. Hingga dia mulai mengenal apa itu opera, apa itu yoga.

Let's be more intellect

Dia bersyukur memiliki ibu yang memiliki dedikasi tinggi dalam menuntut ilmu. Seandainya dia dibiarkan saja tanpa dorongan untuk sekolah sampai tinggi mungkin saat ini sudah jadi sopir juga. "Coba lihat tokoh-tokoh hebat di dunia. Di balik semua itu ada sosok ibu." katanya. Tiang penyangga Indonesia maju adalah Ibu yang hebat. Dia bahkan menyimpulkan bahwa Gayus itu memang sudah salah didikan sejak kecil. Jika dia masih memiliki hati nurani dia pasti masih memikirkan ibunya, keluarganya. Saat sesi tanya jawab ada pertanyaan mengapa om Iwan memilih kembali ke Indonesia? Bukankah sudah enak hidup di sana. Dia menjawab bahwa 10 tahun tinggal di sana dia tak bisa datang ke pemakaman kakek dan neneknya. Setahun hanya pulang sekali. Tidak ada yang tau hidup seseorang sampai kapan. Dia ingin menemani Ibunya di hari tua.

Inilah petikan kisah dan motivasi yang aku dapat dari bedah buku 9 Summers 10 Autumns.

9_summers_10_autumns

Posted via email from Nyol's Posterous

Baca Selengkapnya - Don't Be Average! Jadilah Yang Terbaik

9 Summers 10 Autumns

Sebulan lebih blog ini tak terjamah :( maaf ya blog karena sudah menelantarkanmu.

Kemarin aku ikutan bedah buku om Iwan Setyawan yang judulnya 9 Summers 10 Autumns di Gramedia Expo. Sehari sebelumnya aku sudah sempat melihat dan membaca sinopsis buku itu di meja display buku terbaru saat berada di Togamas. Mari kita simak ceritaku.

 

Pagi hari ketika tengah asyik membuka Goodreads untuk melihat update terbaru buku yang dibaca teman-teman, ternyata salah satu teman baru saja membuat review tentang buku itu. Usai membacanya aku pun membuka halaman profil penulisnya. Pantesan sudah ada di sini lah wong penulisnya juga terdaftar di Goodreads. Tak lama aku pun menambahkan om Iwan sebagai teman. Di profilnya itu ada juga alamat Facebook dan Twitter miliknya. Begitu aku membuka profil Facebook om Iwan, ternyata aku sudah berteman dengannya hehehe (kebiasaan add orang sembarangan :P). Setelah melihat-lihat profil Facebooknya dengan teliti aku menemukan informasi yang bagus sekali! Hari ini om Iwan mau bedah buku di Surabaya. Hohoho betapa beruntungnya aku sempat membuka profilnya. Tak ketinggalan aku buka juga Twitter miliknya. Dan bertanya akan kepastian jadwal acara padanya. Ada dua sesi bedah buku  9 Summers 10 Autumns di Surabaya untuk hari ini, pertama pukul 2 siang di Gramedia Tunjungan Plasa lalu berikutnya pukul 4 sore di Gramedia Expo. Karena malas berangkat siang hari ketika matahari masih menyilaukan pandangan aku memilih untuk datang pada sesi kedua di Gramedia Expo.

Sepulang sekolah dan bermain sejenak di kamar keponakanku Nanda sudah mengajakku untuk mengantarnya ke rumah adik sepupu. Aku bilang padanya nanti saja jam 4, sekalian aku pergi ke bedah buku. Usai mengantarkan dia dan adiknya Ninda ke sana aku pun berangkat. Langit terbungkus awan kelabu tebal, tak ada sinar matahari yang menembusnya. Di tengah perjalanan rintik hujan mulai turun dan hujan lebat baru benar-benar turun ketika aku sudah sampai di Gramex, syukur deh gak kehujanan. Begitu tiba di toko bukunya ternyata acara sudah di mulai. Langsung saja aku mencari tempat duduk yang masih kosong. Setelah melihat orangnya langsung ternyata kecil juga :P hihihi. Sebentar.. aku lupa aku dateng pas om Iwan lagi cerita apa :doh: banyak banget sih yang di ceritain hehe. Aku ceritain yang aku inget aja ya ;).

Dia bercerita bahwa buku itu bukan hanya buku tentang dirinya, melainkan buku tentang seluruh keluarganya. Dia terlahir sebagai anak keluarga sederhana dari sopir angkot di kota apel Batu. Cita-citanya ketika masih kecil hanya satu ingin memiliki kamar sendiri, mengingat keadaan rumahnya yang hanya memiliki dua buah kamar yang berisikan banyak saudara. Sejak kecil om Iwan memang bukan anak biasa. Dia pandai mengatur waktu belajarnya. Tiap hari dia meminta ibunya agar membangunkannya jam 2 pagi agar bisa belajar karena selain dini hari suasana rumahnya pasti ramai dan tidak cocok untuk belajar. Ketika sudah jam 3 maka saat itulah kakaknya yang belajar, bergiliran. Dia bercerita betapa ibunya adalah orang nomor satu yang senantiasa menyemangatinya tanpa kenal lelah. Om Iwan bisa kuliah di IPB setelah menjual angkot milik bapaknya dan berhutang uang pada pamannya. Ketika dia sudah akan menyerah karena tak sanggup menghadapi tekanan ilmu statistika jurusannya dan beban hutang keluarganya, ibunya hanya berpesan "coba dulu." setiap akan menyerah selalu ibunya berpesan seperti itu. Dia juga bercerita betapa bapaknya adalah seorang yang bertempramen tinggi. Pernah suatu hari ketika dia masih kecil, bapaknya pulang kerja dan saat itu juga ibunya meminta uang belanja. Bukan uang yang di dapat malah suara bentakan penuh amarah. Saat itu dia dan saudara-saudaranya hanya mampu bersembunyi di kamar. Ketika pertengkaran sudah berakhir, om Iwan memberanikan diri keluar mencari ibunya. Dia menemukan ibunya di dapur berjongkok sambil menangis. Dia mendekati ibunya. Ibunya meraih tangan kecilnya, menggandengnya dan berjalan keluar masih dengan mata yang basah. Om Iwan menceritakan kejadian itu, matanya berkaca-kaca dan berkata, "Aku gak mau melihat ibuku menangis lagi."

Om Iwan adalah anak ketiga (aku gak tau dari berapa bersaudara :P ). Dia bercerita bahwa kakaknya yang pertama tidak bisa kuliah karena tidak lolos UMPTN akhirnya memutuskan untuk bekerja dulu dan mencoba lagi tahun depan. Ketika tahun depan tiba giliran adiknya atau kakak Om Iwan yang kedua untuk kuliah. Kakak pertamanya mengurungkan niat kuliah demi bisa membiayai kuliah kakak kedua. Ketika tiba giliran Om Iwan yang kuliah, tidak ada yang bisa membiayainya. Karena hal itulah angkot bapaknya terpaksa harus di jual kebetulan saat itu bapaknya sudah tidak menyopir angkot lagi. Dia benar-benar bersyukur memiliki keluarga yang dapat saling membantu kesusahan masing-masing anggotanya. Ketika kuliah kakak keduanya pernah di kirim ke Jepang sebagai siswa pertukaran budaya. Pulang dari sana dia mendapat uang jajan yang dipakai untuk beli tape recorder. Sisa uang tidak dihabiskan layaknya remaja lainnya melainkan untuk mengganti lantai rumah dengan keramik. Om Iwan berkata bahwa hati kakaknya itu nempel di lantai rumahnya. Yang membuat kakak perempuannya terus berjuang tak kenal menyerah juga ibunya. Beliau tak ingin anak-anaknya nanti sengsara seperti dirinya yang bergantung pada suami. Dia ingin anak-anak perempuannya juga bisa cari uang sendiri.

Itulah sedikit kisah tentang keluarga Om Iwan Setyawan, penulis 9 Summers 10 Autumns. Cerita belum berakhir sampai di situ saja. Pegel ngetiknya nih, tunggu lanjutannya ya ;).

Posted via email from Nyol's Posterous

Baca Selengkapnya - 9 Summers 10 Autumns