Path Facebook Instagram Twitter Google+

Fortuneless Day (Part. 2)

Kalau Dumbledore punya pensieve buat menyimpan ingatannya maka aku punya blog untuk menyimpan ingatanku :).

 

Meski sudah tersandung-sandung demi menginjakkan kaki di Grand City, kami tetap melanjutkan perjalanan yang tidak mudah ini. Karena diantara kami Eka yang sudah pernah kesana maka kami meyuruhnya mengisi posisi pertama yang disusul dengan Edo lalu Muklis dan aku. Sesampainya disana kami tak tahu mau berbuat apa ehehe :lol:. Sempat berkeliling-keliling sebentar lalu Edo sang bos besar mengajak untuk mencari tempat makan. Mengapa kami menjuluki Edo sebagai bos besar? Karena disetiap dia yang mengajak entah itu makan, nonton bioskop, atau hanya sekedar minum teh di warung dekat kampus, maka kami tak perlu cemas isi dompet akan keluar berhamburan :D. Setelah menemukan posisi yang enak untuk makan Edo pun memesan makanan di salah satu gerai di foodcourts. Muklis yang biasa berkomentar tentang orang sekitar baru saja menemukan sasarannya. Dia memberitahu aku untuk melihat orang yang ada disana. Setelah aku menemukan target yang dimaksud dia kembali berkata "Perhatikan kepalanya!" sambil mengecilkan volume perkataan karena takut ketahuan sang target.

Targetnya adalah pria cina paruh baya berkepala botak di bagian atas ala profesor, berkaca mata dobel, yang hitam dibiarkan terbuka ke atas dan putih. Apa gerangan yang membuatnya bisa menjadi target sasaran si Muklis? Setelah mengikuti instruksi untuk melihat kepalanya, aku jadi tertawa terpingkal-pingkal kawan! Kepala orang itu tak berhenti bergerak layaknya ayam yang terkena penyakit tetelo (kalau orang Jawa biasa menyebutnya teloen, kalau istilah yang lebih keren lagi sebutannya New Castle disease (ND)). Edo yang baru bergabung dan Eka keheranan lalu bertanya pada kami berdua mengenai apa yang kami tertawakan? Muklis mengulang kembali instruksi yang baru saja aku terima kepada Edo dan Eka. Tidak lama kemudian kami berempat pun tertawa terpingkal-pingkal :lol:. Sambil menunggu pesanan, kami kembali berbincang tentang kecelakaan lalu lintas yang baru saja Eka alami. Begitu lama kami menunggu pesanan yang tak kunjung datang lalu aku bertanya pada Edo kapan pesanannya datang? Edo dengan enteng menjawab kalau dia belum memesan. Kurang ajar! Dia berdalih menunya tidak menarik dan kami bertiga hanya bisa manggut-manggut.

Kami memutuskan untuk berkeliling lagi sambil mencari tempat makan yang enak. Ketika melihat papan yang menunjukkan arah menuju bioskop XXI Edo kembali bersemangat mengajak kami untuk nonton film. Selesai memutuskan dan membeli karcis untuk film Eat Pray Love kembali kami mencari tempat untuk makan sebelum film dimulai. Saat berjalan aku menemukan karcis Jatim Fair, entah sengaja di tinggal sang pemilik atau lupa memasukkan ke kantong. Karena itu merupakan kumpulan karcis dan ada banyak tulisan gratis di setiap karcis yang bisa ditukar, Edo menyuruh aku dan Muklis untuk menukarkan karcis tersebut di tiap gerai yang menerima penukaran. Setibanya di tempat pameran aku dan Muklis menunjukkan karcis pada petugas sebelum diperbolehkan masuk ke tempat pameran. Para petugas sempat kebingungan karena karcis baris pertama sudah tersobek tapi di tangan kami tak ada stempel yang menunjukkan bahwa kami sudah pernah masuk ke pameran. Karcis kami beda warna dan tangan tak berstempel! Salah seorang petugas bertanya kami beli karcis dimana? Aku jawab saja bahwa kami beli di bawah (karena memang area pamer mulai dari halaman Grand City yang luas sampai lantai 3 ini). Lalu petugas kembali bertanya tentang potongan karcis dan stempel, dan aku tetap saja ngeyel kalau kami beli di bawah dan tangan kami tak di stempel petugas. Petugas yang sudah kehabisan akal hanya mengizinkan kami masuk dan memberi kami stempel di tangan sebagai tanda pernah masuk pameran.

Penasaran dengan kisah selanjutnya? Tungguin ya ;)

Posted via email from Nyol's Posterous

0 obrolan:

Posting Komentar

Habis baca jangan lupa tinggalin jejak ya :D