Path Facebook Instagram Twitter Google+

Toko Pucuk

Aku ini… (binatang jalang?) bukaaaaaan!!! Aku ini pecinta buku yang gak terlalu akut. Cerita kali ini sebenarnya lanjutan dari cerita yang judulnya apa yah??? Entahlah aku sudah lupa akibat terlalu lama menelantarkan cerita pendahulunya.
Sesampainya tiba di kawasan perdagangan terbesar buku bekas dan “buku bajakan” (sekarang marak sekali buku laris dicetak sama penerbit yang tidak memiliki hak mencetak dari penerbit maupun penulis) di jalan Semarang, aku pun masuk ke toko pucuk (bukan nama toko yang sebenarnya). Karena letaknya saja yang berada di ujung ke-2 maka aku memberi nama sesuai keinginanku. Lalu bagaimana dengan toko yang pertama, apa aku tidak masuk? Jawabannya: ya, aku tidak main kesana karena tidak menarik sama sekali. Aku paling suka masuk ke toko yang satu ini dan bermain-main selama mungkin di dalamnya meskipun ketika keluar tak membuahkan hasil karena buku di sini mahal walau sudah bekas. Kalau sudah masuk toko buku apa pun bentuknya pasti lupa deh sama daftar buku yang dari kemarin dulu sudah tertata rapi di awang-awang (salah sendiri gak di tulis. Ribet tau!).
Saat melihat bagian bawah rak tengah dekat kasir (jangan membayangkan kasir di sini memakai komputer dan segala macam anteknya semisal alat gesek kartu dan printer ya) aku menemukan cergam berwarna terbitan gagas media. Sejak kapan gagas bikin cergam? Kisah tentang anak-anak pula? Dalam hitungan detik buku yang menyilaukan itu sudah berada di tangan dan mata sudah mulai membaca dan melihat gambar-gambar yang menghiasi buku itu. Ceritanya cukup sederhana, mengisahkan seorang anak gadis kecil yang memiliki rambut yang susah di atur (aku lupa judulnya). Gambar rambutnya lucu banget deh sampai bikin aku senyum-senyum sendiri mengingatkan akan rambut yang tumbuh di atas kepalaku. Dia begitu kesal dengan rambutnya itu. Walau sebagaimanapun usahanya pasti rambutnya itu tak mau tertata rapi. Hingga suatu hari ada angin kencang yang berhembus di kota. Ketika itu dia juga berada di sana. Usai angin berhembus dia tertawa terbahak-bahak melihat rambut orang-orang di sekitarnya. Orang-orang itu pun tertawa melihat orang lain yang berada di dekatnya. Kini tak hanya gadis kecil itu yang berambut awut-awutan :). Dia pun tak memusingkan lagi masalah rambutnya.
Selain buku itu ada lagi cergam lain yang aku lupa judul sekaligus kisahnya apa :cry: (salah sendiri gak langsung bikin posting, ya gini deh jadinya, lupa semua). Usai membaca dua cergam tadi aku masuk jauh lebih dalam. Suasana tempat ini masih sama seperti ketika terakhir aku mengunjunginya kira-kira semester pertama kelas 3 SMA. Yang paling membuatku menyesal meninggalkan toko ini beberapa tahun silam (kok kayak jadul banget sih, padahal juga baru dua tahun ninggalin bangku SMA) adalah aku tak jadi membeli Lord of The Ring yang entah itu buku yang ke berapa. Saat aku menemukan LOTR lengkap dan membolak-balik ketiganya yang ternyata versi asli terbitan warner books itu pemilik toko yang masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya itu mengambilkan LOTR yang dulu aku inginkan :). Dalam kurun waktu 2 tahun buku itu belum laku? Ahahaha.. rasain. Lho kok rasain? Biarin emang orangnya juga kalo jualan mahal sih :P.  Aku memegang buku itu sepintas lalu meletakkannya lagi.
“Buku Pramoedya Ananta Toer ada gak mas?” aku berbasa-basi karena memang sudah tau sejak awal bahwa tak ada satu judul pun buku Pram tersembunyi diantara rak buku di sini.
“Pram…” pemilik toko itu tertawa agak sinis namun singkat saja, “gak ada mas.”
Benar kan, dia bahkan menyebut Pram saja. Aku belum pernah bertanya Pram sang legenda pada pemilik toko ini sebelumnya. Jika pertanyaan ini aku lontarkan pada pemilik kios buku lain (tiada toko sebesar yang satu ini di sepanjang jalan Semarang) belum tentu mereka tau bahkan bisa saja mereka menyuruhku mengulang lagi pertanyaanku. Orang ini terlalu cerdas untuk berjualan buku bekas, makanya dia tidak mau menurunkan harga bukunya walau sudah bekas sekali. Aku menemukan PAPILLON. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa benar ini adalah buku yang sering disebut oleh GOLA GONG dalam baladanya bersama si ROY. Sayangnya buku ini terlalu tua dan kusam. Ditambah buku ini seri dan harganya yang baru saja aku tanyakan: Rp17.000. Baiklah aku kembalikan ke rak. Semoga kita masih bisa bertemu lagi layaknya LOTR ;).
Aku mengelilingi setiap rak buku yang tertata rapi di seluruh tembok ruangan. Aku sampai tak tau pasti apa yang ada di balik semua rak buku ini. Apa itu tembok bata, tembok bersemen, atau tembok yang bahkan begitu indah dengan balutan cat warna merah jambu? Aha aku menemukan CA BAU KAN. Hm.. bukunya masih bagus tapi masalah harga belum tentu sama bagusnya. Aku tak menyentuh sedikit pun buku itu. Beralih ke barisan di bawahnya, lalu sampingnya, dan sampingnya lagi. Ada begitu banyak buku-buku jadul yang menyita perhatianku. Mulai dari yang berbahasa Indonesia, Jawa, Belanda, Jepang, Inggris hingga buku berbahasa Rusia. Andai aku mengerti banyak bahasa ingin rasanya membeli semua buku tua itu. Sampul buku yang terbungkus kulit tanpa ilustrasi gambar membuatku merasa sedang berada di perpustakaan yang di gambarkan dalam film Harry Potter. Puas menghirup bau buku-buku tua yang menyimpan sebagian sejarah perjalanannya hingga sampai di toko pucuk ini, aku pun melangkah pergi meninggalkan mereka tetap tertata rapi di rak kayu yang menjulang tinggi hingga ke atap kayu paling rendah.
Perjalananku tak hanya sampai di sini. Begitu keluar hanya bergerak beberapa jengkal saja sudah masuk kawasan kios buku lain. Di sini tak begitu menarik namun aku bertemu dengan buku yang pasti diketahui oleh semua pecinta buku dan pecinta film. GONE WITH THE WIND! Baru tau aku bahwa dulunya buku ini di terbitkan menjadi beberapa seri, bukan seperti terbitan sekarang yang sudah dijadikan satu bundel yang tebalnya bukan main nyamannya jika dijadikan bantal. Sayangnya buku itu sudah rusak parah banyak halaman yang terlepas dan hanya tersisa jilid satu saja di situ. Meninggalkan kios itu perlu beberapa jangkah kaki untuk sampai di kios berikutnya. Dulu ketika aku masih kecil hingga terakhir aku kelas 2 SMA, sepanjang kiri kanan jalan Semarang ada kios buku. Sekarang kios yang tak berada di dalam naungan bangunan atau rombong pindah ke KAMPOENG ILMU. Satu, dua, tiga kios terlewatkan tanpa temuan buku yang menyilaukan. Yang ku temukan malah beberapa skripsi mahasiswa Universitas ***** yang di jual begitu saja di antara tumpukan buku bekas lain. Aku tak menemukan buku-buku istimewa lagi hingga hampir sampai di kios paling ujung.
Kini sampailah aku di kios paling ujung. Awan mendung sudah menyelimuti seluruh permukaan langit hingga matahari tak terlihat lagi sinarnya. Ini bukan kios. Pikirku dalam hati. Aku pernah mampir ke sini tapi tak sampai menjelajah ke dalam karena seingatku terakhir mencari buku hingga sampai di sini rasanya aku terlalu tergesa-gesa. Jika toko pucuk adalah toko pembuka yang berada di ujung jalan dari arah pasar turi maka toko yang ini berada di ujung jalanan dari arah sebaliknya berhadapan dengan SPBU. Toko ini walau cukup besar juga namun tak memiliki banyak koleksi bagus. Penjaganya juga terlalu banyak menurutku, empat orang dan kesemuanya adalah wanita. Ketika aku masuk jauh ke dalam ada pick up yang berhenti di depan toko ini. Aku tak menghiraukan dan melanjutkan penyisiranku pada rak buku terdalam. Salah seorang penjaga masuk hingga dekat sekali dengan tempatku berdiri mengamati rak. Dia mengambil dua buah buku dan berbicara lantang sambil kembali menuju orang dalam pick up. Aku menemukan buku ERNEST HEMINGWAY masih tersegel. Alih-alih ingin mendengar percakapan mereka di luar maka aku membawa buku itu dan bertanya harganya pada salah seorang dari mereka berempat.
Ternyata pick up yang berhenti tadi menawarkan beberapa buku yang masih tersegel. Jadi begini cara mereka bisa mendapatkan buku yang masih tersegel. Kalau yang ini sih bukan buku bajakan, melainkan buku sisa yang tidak laku di toko buku besar. Aku bisa melihat salah satu judulnya dan ternyata bukan buku bagus juga. Hanya buku tentang komik naruto, one piece dan lain-lain. Yang membuatku terperanjat adalah sekitar 8 buku kira-kira hanya mereka tawar dengan harga 10 ribu! Setelah berdabat demi memperoleh kesepakatan akhirnya buku-buku itu kini ikut meramaikan rak toko. Gila… yang benar saja. Aku baru saja membayar untuk satu biji buku ERNEST HEMINGWAY dengan harga sama persis dengan harga 8 buku itu. Mereka tidak sungkan sama sekali denganku. Bagaimana jika aku yang mencoba menawar buku mereka dengan harga seperti itu? Tentu mereka akan marah besar. Tapi itulah hidup setiap orang yang berusaha pasti diberi kemudahan oleh Tuhan. Tidak setiap hari juga uang akan mampir di toko ini. Dengan mendapat untung besar di setiap penjualan mereka bisa melanjutkan hidup.
Perjalanan belum berakhir. Nantikan kelanjutannya :D

2 obrolan:

Unknown mengatakan...

wow, ternyata begitu ya sisi lain dari Semarang... hehe
menarik... jadi pengen mampir ke deretan toko buku itu... :D

lanjutkan petualangannya mas... :D

fullowaferstik mengatakan...

aku di Surabaya mas.. bukan Semarang :3

iya.. tungguin ya ;)

Posting Komentar

Habis baca jangan lupa tinggalin jejak ya :D