Path Facebook Instagram Twitter Google+

Berjuang Bersama Sahabat

Untuk sahabat SMAku, Deny Fattah dan segenap rekan-rekan yang telah berjuang bersama-sama telah menempuh UNAS tahun 2009. Cerpen ini pernah diikutkan pada lomba serba-serbi ujian nasional tapi belum menang :) Selamat menikmati.
Dua orang sahabat itu saling berjabat tangan lalu berpelukan. Bukan karena mereka sudah lama tak bertemu, melainkan karena mereka baru saja mendapat kabar gembira yang telah berbulan lamanya dinanti-nanti. Walau lulus dengan nilai pas-pasan mereka benar-benar gembira. Kerja keras dan doa mereka selama satu tahun terakhir tidaklah sia-sia.
Sembilan bulan sebelum UNAS
            “Kayaknya hari ini bakal jadi kunjungan terakhir kita deh.” Sambil terus melihat nilai rapornya yang baru saja dibagikan, Agung berkata pada Deny.
            “Emangnya kita mau kemana?”
            “Ke neraka.”
            “Hah!!!”
            Hari ini adalah hari pembagian rapor kenaikan kelas. Sepulang sekolah seusai menerima rapor masing-masing, kedua sahabat pecinta buku itu langsung pergi menuju toko buku langganannya yang berada di Jalan Diponegoro. Walau tiga jam sudah berlalu mereka masih belum puas juga membolak-balik belasan bahkan puluhan buku yang menurut mereka menarik. Bagi mereka berada di toko buku, perpus, persewaan buku, atau semua tempat lainnya yang berisi buku-buku maka sama halnya dengan anak kecil yang tengah berada di taman bermain.
            “Kamu beli apa? Aku mau bayar nih.”
            “Nih.” Sambil menyerahkan komik One Piece pada Agung, Deny menjawab, “CP9 VS bajak laut Luffy. Seru Gung!”
            “Oke, mana duitmu.”
            Sambil menyerahkan uang Deny tak lupa berkata, “Balikin kembaliannya.”
            Perjalanan pulang mereka isi dengan obrolan tentang pertukaran kelas yang selalu menimbulkan rasa penasaran karena setiap tahunnya para siswa akan diacak untuk menempati kelas baru dan beberapa teman baru hasil pertukaran kelas.
            “Maksud pernyataanmu tadi apa sih?” Deny bertanya pada Agung.
            “Pernyataan yang mana?” Agung balik bertanya.
            “Yang neraka-neraka tadi. Kalau pun aku harus masuk neraka, aku nggak sudi ya barengan sama kamu.” Jawab Deny sambil nyengir.
            “Aku timpuk pakai sepatu tahu rasa kau ya!”
            Mereka terdiam sesaat.
            “Kelas XII adalah masa yang paling sulit, untuk itulah aku menyebutnya NERAKA.”
            “Oh… gitu toh. Tapi kayaknya kamu terlalu hiperbolis deh.”
            Tanpa sungkan lagi Agung mencekik sambil menggoyang-goyangkan leher Deny hingga lidahnya terjulur dan matanya melotot.
Enam bulan sebelum UNAS
            “Kalau kalian masih saja bermalas-malasan seperti ini bagaimana kalau kalian tidak lulus?” Pak Kenang yang sudah kehabisan akal untuk menghadapi tingkah laku siswa kelas XII hanya sanggup menasehati.
Kriiiiiiiiiiing!
            Tanpa menunggu lagi Pak Kenang segera meninggalkan kelas disusul dengan siswa siswi di belakangnya. Agung masih saja terdiam di bangkunya ketika kelas sudah sepi. Bagaimana masa depannya kalau dua kata terakhir Pak Kenang tadi menghiasi sejarah hidupnya. Mengerikan!
Tuk. Lamunannya buyar ketika ada seseorang melempar kepalanya dengan pesawat kertas.
            “Sedang apa kawan? Dari tadi di tungguin di bawah malah asyik bengong sendirian di sini.” Ternyata orang itu adalah Deny.
            “Ah… enggak. Ayo kita pulang.”
            “Kamu nggak papa kan?” Melihat tingkah sahabatnya yang agak aneh itu Deny jadi khawatir.
            “Nggak papa kok. Ayo pulang, sudah sore nih.”
Dua bulan sebelum UNAS
            Mengapa aku masih belum juga bisa mengerjakan soal busuk ini! Agung mengumpat-umpat dalam hati. Benar saja jika dia mulai cemas memikirkan masa depannya. UNAS tinggal dua bulan lagi tapi dia masih saja kesulitan mengerjakan soal Try Out di tempat les. Semua persiapan yang telah dilatih sendiri olehnya belum membuahkan hasil. Otaknya sudah buntu lantas soal yang belum terjawab masih cukup banyak. Besok aku mau ke rumah Deny dan menanyakan soal yang tidak aku mengerti ini. Akhirnya dia menyerahkan lembar jawab yang sudah pasti jelek hasilnya itu pada pengawas Try Out.
            “Ajari aku kimia, Den.” Kata Agung setelah dipersilahkan masuk ke dalam rumah oleh Deny.
            “Santai kawan, duduk lah dulu dan ambil nafas.” Deny tersenyum lalu melangkah ke dalam.
            Agung melakukan apa yang dikatakan Deny. Dia segera menghempaskan tubuhnya di atas sofa empuk berwarna kuning cerah. Tak berapa lama Deny keluar lagi sambil membawa dua gelas besar es jus lemon segar.
            “Apa sih yang tidak kamu kuasai dalam kimia? Kimia kan gampang.”
            “Gampang katamu!” perkataan Deny yang terdengar agak sombong barusan membuat Agung jadi sedikit emosi.
            “Lalu kau sendiri, apa yang tak kau kuasai dari fisika?” Agung melanjutkan perkataannya.
            “Kenapa jadi tegang begini? Santai kawan, santai.” Lagi-lagi Deny hanya tersenyum.
            Tidak ada yang bisa menjawab kesusahan dalam menangkap pelajaran yang tidak dikuasai oleh masing-masing. Untuk mencairkan suasana Deny menyalakan televisi dan mencari acara yang biasa memutarkan video klip lagu-lagu.
            “Ngapain juga dulu masuk IPA. Toh sekarang jadi kelimpungan kayak gini.” Deny memulai lagi percakapan.
            “Karena nggak ada jurusan bahasa di sekolah kita.”
            “Hm… kalau aku karena tidak suka IPS.”
            “Lalu kenapa kau nggak suka fisika? Fisika kan juga cabang dari IPA.”
            “Kalau itu sih karena gurunya tidak enak saat mengajar. Aku jadi sulit menangkap.”
            Sambil melempar bantal sofa pada Deny dia berkata, “Kau ini paling bisa kalau cari alasan saja.”
            Mereka berdua tertawa bersama melupakan sejenak rasa gundah yang tiap hari makin menyesakkan dada mereka. Usai belajar bersama mereka bersantai di teras.
            “Semua yang kita pelajari selama tiga tahun ini akhirnya hanya dilihat dari nilai UNAS. Sungguh aneh system di negara kita ini.”
            “Padahal belum tentu juga semua hal tersebut berguna bagi kelangsungan hidup kita di masa depan.” Deny menyambung pendapat Agung.
            “Sudah sore nih. Aku pulang dulu Den.”
            “Oke bos. Hati-hati di jalan.”
            Setelah berpamitan dengan Papa dan Mama Deny, Agung pun pulang.
Beberapa menit sebelum pelaksanaan UNAS hari terakhir
            “Assalamu’alaikum Warrahmatullah.”
            Usai sholat Dhuha di masjid sekolah, kedua sahabat ini begitu tenang untuk menghadapi UNAS hari terakhir. Dalam beberapa ratus menit lagi UNAS yang bagaikan monster bagi semua siswa di seluruh Indonesia ini akan berakhir. Agung dan Deny sudah tak segugup hari pertama pelaksanaan ujian.
“Tinggal selangkah lagi!” Kata Deny.
“Ya.” Jawab Agung dengan mantap.
Kriiiiiiiiiiing!
Beberapa menit sesudah pelaksanaan UNAS hari terakhir
            Soal matematika sukses menutup perayaan UNAS tahun ini sampai titik darah penghabisan dengan mati-matian. Banyak siswa yang keluar kelas dengan wajah kusut, muram, dan pucat. Diantara banyaknya wajah seperti itu di SMA Ta’miriyah Surabaya, ada dua wajah yang masih menampakkan secuil senyum harapan. Pemilik dua wajah itu tak lain adalah Agung dan Deny. Dua sahabat ini telah berhasil melalui masa-masa di neraka seperti yang pernah disebut oleh Agung. Segenap kemampuan sudah mereka kerahkan demi bisa bernafas lagi setelah menghadapi lima hari penentuan yang menimbulkan rasa sesak di dada. Kini mereka bisa menikmati hari-hari terakhir mereka di SMA yang tak kan pernah bisa diulang lagi.

0 obrolan:

Posting Komentar

Habis baca jangan lupa tinggalin jejak ya :D