Path Facebook Instagram Twitter Google+

Don't Be Average! Jadilah Yang Terbaik

Lanjutan cerita posting sebelumnya.

 

9 Summers 10 Autumns ditulis sebagai buah manis sejarah kehidupan om Iwan. Dia ingin keponakan-keponakannya tau bahwa perjuangannya untuk sampai di titik ini nggak mudah. Setelah lulus dari IPB om Iwan berangkat ke Jakarta. Di sana dia mulai bekerja. Mencari inspirator itu tidak harus selalu B.J. Habibie dia bilang. Carilah orang-orang di sekitar lingkungan anda. Semangatnya terlecut ketika dia melihat karir seorang kakak kelasnya di IPB yang bekerja sebagai direktur memimpin bule-bule. Kala itu dia mendapat tantangan untuk mengerjakan proyek berskala Asia Pasifik. Dia menerima tantangan itu dan berhasil. Setelah namanya cukup dikenal di kawasan Asia Pasifik ada perusahaan berbasis di New York menawarkan pekerjaan untuknya. Ragu-ragu om Iwan memutuskan. Akhirnya berangkat juga dia ke sana walau hanya berbekal bahasa inggris yang belepotan.

Mimpi yang kecil tapi ingin diraih dengan sungguh-sungguh nantinya akan membuahkan bonus yang tak ternilai harganya

Berangkat ke Amerika bukanlah impiannya. Dia bilang itu adalah bonus dari impiannya ingin memiliki kamar sendiri. Beruntung pekerjaannya tak memerlukan banyak bicara. Dia mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Ketika orang lain merampungkan pekerjaan dalam 3 hari dia bisa selesai dalam 1 hari. Itulah kelebihannya. Karirnya makin menanjak dari waktu ke waktu. Yang dia sayangkan adalah orang Indonesia itu suka sekali di rata-rata. Jika semua orang, apapun pekerjaanya, mau berusaha untuk jadi yang terbaik maka Indonesia bisa lebih baik. Dia berkisah tentang bapaknya. Sopir angkot kan nggak ada tuh jam kerjanya. Tapi bapaknya selalu berangkat jam 5.30 gak pernah telat. Selalu ramah pada penumpang. Penumpang pun jadi terpikat dan banyak langganan.

Don't be average! Jadilah yang terbaik

Masih tentang orang Indonesia. Dia berkata bahwa orang Indonesia itu paling pinter kalau disuruh jiplak (apalagi yang lagi tren), tapi jiplaknya salah. Punk! Dandanan sama persis tapi tingkah laku punkers Amerika sama punkers di sini nggak ada mirip-miripnya. Dia bilang kalau anak punk di sana mainnya ke library! Di sini, main di kolong jembatan iya. Dia mau bikin satu new cool (baca: tren) baru. SMART. Dalam pergaulan juga perlu melihat segi intelektualitas. Ketika kuliah dia bergaul dengan teman dari kota ini lalu menyimpulkan oh begini. Bergaul dengan teman dari pulau ini, oh begini. Begitu seterusnya. Sampai di negeri yang dihuni bangsa seluruh dunia, Amerika pun juga. Hingga dia mulai mengenal apa itu opera, apa itu yoga.

Let's be more intellect

Dia bersyukur memiliki ibu yang memiliki dedikasi tinggi dalam menuntut ilmu. Seandainya dia dibiarkan saja tanpa dorongan untuk sekolah sampai tinggi mungkin saat ini sudah jadi sopir juga. "Coba lihat tokoh-tokoh hebat di dunia. Di balik semua itu ada sosok ibu." katanya. Tiang penyangga Indonesia maju adalah Ibu yang hebat. Dia bahkan menyimpulkan bahwa Gayus itu memang sudah salah didikan sejak kecil. Jika dia masih memiliki hati nurani dia pasti masih memikirkan ibunya, keluarganya. Saat sesi tanya jawab ada pertanyaan mengapa om Iwan memilih kembali ke Indonesia? Bukankah sudah enak hidup di sana. Dia menjawab bahwa 10 tahun tinggal di sana dia tak bisa datang ke pemakaman kakek dan neneknya. Setahun hanya pulang sekali. Tidak ada yang tau hidup seseorang sampai kapan. Dia ingin menemani Ibunya di hari tua.

Inilah petikan kisah dan motivasi yang aku dapat dari bedah buku 9 Summers 10 Autumns.

9_summers_10_autumns

Posted via email from Nyol's Posterous

0 obrolan:

Posting Komentar

Habis baca jangan lupa tinggalin jejak ya :D