Path Facebook Instagram Twitter Google+

Melengkapi Alenia Kehidupan

Sebuah pukulan telak meremukkan perasaanku. Kejadiannya baru beberapa menit yang lalu. Aku tanpa sengaja mengorek sebuah kisah pilu dari seorang lelaki tua di dalam lyn. Dia berkulit terang, berwajah keriput kempong, dengan rambut dan kumis perak beruban. Di balik keadaan fisiknya itu masih bersemayam semangat juang dan bahan bakar kehidupan yang seolah tak ingin padam.

***

Aku baru selesai mengisi sejenis biodata atau entah apalah itu namanya. Dari sebuah perusahaan makanan siap saji yang baru mengembangkan sayap, Richeese Factory. Bagaimana aku bisa memberikan informasi tentang biodataku pada mereka secara sukarela? Jawabannya karena aku sedang meminang pekerjaan di sana. Sungguh banyak data yang perlu diisikan dalam formulir penerimaan pegawai tersebut. Aku pun baru tahu kalau seperti inilah sistem yang harus dilalui untuk bisa menerobos masuk ke dalam jajaran karyawan perusahaan kelas kakap. Setelah sehari sebelumnya aku juga sempat bernegosiasi tentang kontrak kerja dengan perusahaan kecil-kecilan milik perorangan.

Siang itu beberapa ruas jalan di Surabaya macet. Meski semenjak pagi diguyur hujan. Aksi demonstran menuntut penolakan harga BBM tetap berjalan. Lyn yang aku tumpangi pun harus bersusah payah mencari jalan alternative lainnya. Saat tiba di kios pemilik game center yang akan aku lamar, ada seorang pelamar lain yang tengah berhadapan 1 on 1 dengan si empunya perusahaan. Masih di ruang yang sama, aku duduk manis di kursi tunggu sambil menyimak percakapan kontrak kerja mereka. Di bagian akhir aku mendengar bahwa dia langsung mendapat kesempatan itu dan kinerjanya sudah bisa di mulai besok. Dan satu lagi perkataan yang tidak sengaja terperosok masuk ke lubang telingaku. ‘Jangan lupa bawa ijazahmu!’

Kembali ke Richeese. Begitu usai mengembalikan berkas ke pegawai yang ada di sana. Aku melenggang pergi. Dengan menyisakan harapan semoga kali ini berjalan mulus, lanjut tahap wawancara dll. Sampai aku berhasil mendapatkan pekerjaan. Tapi sebelum pulang aku masih menyempatkan diri memutari area Royal Plaza yang terbilang besar ini. Memilah milih jajaran baju yang ditata rapi di stand sampai tak terasa waktu operasional mal telah mencapai batas. Kembali aku terduduk di atas bantalan kursi lyn yang akan mengantarku sampai gang depan rumah. Melaju di jalanan malam yang tidak semacet siang. Kendaraan masal ini masuk ke terminal Joyoboyo. Begitu keluar dari sana maka secuil puzzle di alenia pembukaan tadi mulai tersusun.

‘Kulo mandap pengadilan ngih mas, uangnya tinggal dua ribu… gakpapa?’

Suara bernuansa cemas itu berasal dari seseorang yang baru naik . Ya, seorang kakek yang berpakaian layaknya orang bepergian. Hanya dikurangi tas ransel atau koper besar saja. Setelah uang miliknya diterima oleh sang sopir, kakek bertopi hitam itu pun bernafas lega. Dia duduk lalu menggeser tubuhnya hingga merapat ke pojok. Rasa ingin tahuku mulai meradang. Aku mulai menyapa kakek tersebut dengan pertanyaan basa basi.

‘Bade teng pundi, pak?’

Obrolan pun mengalir dengan sendirinya. Dia memang tengah bepergian. Dari Nganjuk tepatnya. Datang ke Surabaya hendak menjenguk anak perempuannya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga ikut majikan beretnis Cina. Sudah pernah dua kali ke sini. Dan malam ini adalah kali ketiganya. Dasar utama kedatangannya kali ini ternyata bukan hanya menjenguk anaknya tersebut. Melainkan juga meminta uang untuk menebus ijazah si cucu, putrid sulung dari anak perempuannya.

‘Ijazahnya masih disita sama sekolah. Karena masih menunggak uang SPP 6 bulan dan uang LKS,’ jelasnya.

Keberangkatan kakek berkumis perak ini berbekal uang hasil menggadaikan sepeda milik cucunya. Itupun atas inisiatif si cucu juga supaya kakek bisa berangkat menemui ibunya dan meminta uang demi menebus ijazah kelulusannya dari MTs. Pengorbanan. Belum lagi sampai di tempat tujuan, tadi saat kakek naik bus uang kembalian ongkos belum sempat dibayar karena alasan kondektur yang bertele-tele dan oper penumpang bus yang kerap terjadi. Akhirnya ketika turun di terminal Bungurasih, kakek rela berlelah jalan kaki sampai terminal Joyoboyo untuk menghemat ongkos perjalanan pulang nanti.

‘Tadi jalan dari Bungur ke sini jam setengah lima.’

Sekali lagi aku dipertemukan oleh garis takdir dengan orang-orang yang memeras keringat dan berkorban demi kehidupan. Kisah keluarga kakek ini semakin memilukan ketika obrolan kami semakin mendalam. Bila tadi si kakek yang terlihat cemas saat mengatakan maksudnya pada sopir lyn. Kali ini aku yang tampak berkali-kali cemas mendengar ceritanya.

Latar belakang kakek adalah seorang buruh sapu di pasar kampung. Dengan gaji 12.500 rupiah per hari. Istri kakek berjualan makanan di pasar. Tetapi semenjak sakit pekerjaan yang cukup menambah pemasukan itu juga harus berhenti. Sementara itu, gaji yang diterima oleh anak kakek hanya 500.000 per bulan. Belum lagi persoalan majikannya yang sekarang ini. Sifat dan perilakunya sangat tidak ramah. Pernah kakek menelepon untuk menanyakan kabar, tetapi malah mendapat amarah si majikan. Saat kakek datang berkunjung pun hanya diberi ruang dapur sebagai tempat istirahat.

‘Dulu ikut tetangga dari Nganjuk. Sekarang orangnya sudah meninggal jadi ikut menantunya.’

Entah bagaimana caranya keluarga kakek bisa bertahan menjalani hidup selama ini. Aku tak sanggup membayangkannya. Aku sangat-sangat ingin membantu tapi tak ada yang bisa aku beri. Tadi sebelum ke Richeese aku sempat membelanjakan uangku di Festival Buku murah Gramedia. Pengeluaran tak terduga semacam ini sering terjadi ketika aku khilaf dan tidak bisa meredam nafsu belanja barang-barang obral. Hingga aku turun dari lyn aku hanya mampu menyelipkan seutas senyum dan doa supaya kakek dan keluarga selalu dilancarkan rezekinya walau banyak rintangan yang meski ditempuh. Karena pada dasarnya pengorbanan akan berbanding lurus dengan kebahagiaan J.

0 obrolan:

Posting Komentar

Habis baca jangan lupa tinggalin jejak ya :D